Perjalanan 10 hari di Vietnam dan Cambodia
SOEKARNO HATTA to TAN SON NHAT, terbang direct bersama Airasia 'AA' dari Jakarta ke Ho Chi Minh City (HCMC) selama tiga jam sangat menyenangkan, apalagi dapat harga tiket promo hanya 199 Ribu Rupiah. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan untuk mengetahui liku-liku negara paska perang di tahun 60 sampai 70 an.
Tepat pukul 19.20 waktu setempat (tidak ada perbedaan waktu dengan Jakarta), pesawat AA mendarat mulus di Tan Son Nhat International Airport.
Tepat pukul 19.20 waktu setempat (tidak ada perbedaan waktu dengan Jakarta), pesawat AA mendarat mulus di Tan Son Nhat International Airport.
Penerbangan Jakarta – HCMC tiga kali seminggu, dari Jakarta berangkat pukul 16.35 dan kalau dari HCMC pukul 20.20. Disela-sela proses imigrasi yang lancar (bebas visa 30 days), waktu barang bawaanku melewati scanner aku diminta untuk membuka tas, bawaan uang dollar setebal 7cm terdeteksi oleh scanner. Petugas curiga aku membawa masuk uang dollar melebihi yang ditentukan, tas diminta dibuka dan isinya diperlihatkan kepadanya. Ini lho yang kubawa hanya setumpuk uang 1 dollar-an US bukan 100 dollar-an. Melihat ini semua dia tersipu malu sambil bisik-bisik dengan rekan disebelahnya.
HO CHI MINH CITY (HCMC)
Sebelum tahun 1975 kota ini bernama Saigon dan setelahnya baru bernama Ho Chi Minh City (HCMC). Pesan taxi untuk meninggalkan airport menuju kota, aku pesan di counter dalam bandara (SGA, Saigon Airport Corporation), biayanya 8USD, ke kota ditempuh cuma 30 menitan karena jarak airport ke kota tidak begitu jauh sekitar 7km tapi agak macet.
Sebelum tahun 1975 kota ini bernama Saigon dan setelahnya baru bernama Ho Chi Minh City (HCMC). Pesan taxi untuk meninggalkan airport menuju kota, aku pesan di counter dalam bandara (SGA, Saigon Airport Corporation), biayanya 8USD, ke kota ditempuh cuma 30 menitan karena jarak airport ke kota tidak begitu jauh sekitar 7km tapi agak macet.
Pada saat duduk di dalam taxi kusodorkan secarik kertas kepada driver yang berisi alamat tujuan yang telah kusiapkan sebelumnya. Tujuannya adalah kawasan backpacker Bui Vien, De Tham dan Pham Ngu Lao street, district 1, HCMC. Kawasan ini mirip Khaosan Road di Bangkok atau Bukit Bintang di KL.
Memang benar apa yang dikatakan teman yang pernah kesini, kalo HCMC atau Saigon adalah kota sejuta motor dan kota klakson. Lalu lintasnya semrawut dan macet, untuk nyebrang agak sulit perlu keberanian dan kenekatan. Bukan HCMC namanya kalau nggak semrawut dan macet.
Check in hotel di Bui Vien street taripnya mulai 8 - 25US$ berdua. Disitu aku cuma sehari, besoknya pindah cari suasana lain kemudian besoknya pindah lagi, aku ingin cobain semuanya. Bangunan hotel yang merangkap ruko bentuknya ramping-ramping menjulang tinggi sampai 4 atau 5 lantai sedangkan lebarnya hanya 4 meteran.
Dalam hal makan, pertama aku coba restoran royal india, pesan steam rice (nasi putih), hakka noodle dan minumnya es milk coffee Vietnam. Hari-hari berikutnya coba restoran Vietnam halal dekat pasar Benh Thanh, roti sandwich (roti tawar), mie cup label halal dan buah-buahan.
Bayar hotel atau makan bisa bayar pakai US$ atau VND (Vietnam Dong), 1 USD setara dengan 18,000 VND dan 1 Rp. setara dengan 1,8 VND
Sedangkan untuk komunikasi telepon pakai kartu yang ku bawa dari Indonesia, sekali kirim sms sekitar 3000an dan jika terima telepon kena roaming international. Beli kartu setempat lebih baik untuk sekedar 'say hallo dan sms' kepada teman atau keluarga di tanah air. Untuk nge-net biasanya hotel menyediakan fasilitas ini free of charge alias gratis. Moda transportasi dalam kota aku cobain semuanya, mulai dari ojek, cyclo (beca vietnam), buskota atau taxi. Taxi di HCMC kebanyakan Toyota Innova, nama taxinya VINASUM telp. 38.27.27.27 argonya dengan VND, ada juga taxinya yang sedan telepon 54.27.27.27, kalau penumpangnya lebih dari satu orang lebih hemat naik taxi.
Negara sosialis dengan ibukota Hanoi ini sama sekali tidak membatasi saya dan isteri sebagai muslim yang berjilbab. Disini amat sangat jarang ditemui orang berjilbab, malah mereka selalu menyapa hallo Malaysia, hallo Malaysia. Mungkin mereka lebih kenal orang Malaysia, pokoknya kalau mereka melihat ada orang berwajah asia tenggara dan berjilbab pasti orang Malaysia. Dimana-mana aku disambut hallo Malaysia, "Bukan, kami dari Indonesia", ujarku.
Aku pernah makan di belakang Masjid Dong Du dekat Hotel Sheraton Saigon, kebetulan ada sepasang remaja yang sedang makan juga disitu kemudian kami saling sapa. ‘Anda muslim?’ Tanyaku. Oo.. bukan kami komunis, katanya. Merinding juga aku mendengarnya untung aja ini bukan di Indonesia, jawaban tersebut terasa asing ditelingaku. Menurut penuturan petugas Masjid Dong du, di seluruh Vietnam ada sekitar 50 masjid dan khusus di HCMC ada 14 masjid. Sedangkan muslim di Vietnam ada 70ribuan dan di HCMC ada sekitar 4000an, perkampungan yang banyak muslimnya ada di Cham, kota Chaudoc di pinggir sungai Mekong. Mereka bisa bahasa Indonesia dan sangat welcome kalau dikunjungi oleh kita dari Indonesia.
OBYEK WISATA @HCMC
OBYEK WISATA @HCMC
Sebelum ikut tour, aku menyusuri kota mulai Benh Thanh Market, Taman kota, Saigon River serta mencoba naik Cyclo yaitu becak Vietnam yang hanya muat satu orang. Untuk hal ini saya sarankan jangan coba naik cyclo khususnya di depan Benh Thank Market, karena soal harga awal dan waktu bayar biasanya nggak sesuai. Sambil berjalan pulang menuju hotel aku sempatkan beli buku Lonely Planet Vietnam ‘aspal’ edisi juli 2009 dengan harga 90,000 VND.
Dimulai Tour Half Day Tour, biayanya 4 USD plus guide. Dijemput pada pagi hari sekitar pukul delapan pas. Spot yang dikunjungi seperti Giac Lam Pagoda, China Town, Binh Tay Market, Thein Hau Temple, Reunification Palace dan War Museum (tiket 1 USD). Di sebelah War Museum ada bekas Penjara Chuong Cop. Lalu tour diteruskan ke Gereja Notre Dame Kathedral dan berakhir di Kantor Pos Besar peninggalan kolonial yang berada tepat di samping kathedral.
Hari berikutnya kucoba One Day HCMC Tour biayanya 8 USD plus guide. Tujuannya ke Cu Chi Tunnels dan tiket masuknya 75.000 VND.
Cu Chi Tunnels adalah terowongan yang digali manual oleh rakyat Vietnam di kawasan Ben Dinh dan merupakan bagian dari terowongan sepanjang 200 km di bawah tanah yang dipakai selama perang Vietnam melawan Amerika Serikat.
Sebelum tiba di Cu Chi Tunnels, aku dibelokkan ke salah satu handycraft factory yang memproduksi seni kerajinan dari kulit telur. Di sini, dapat disaksikan langsung proses pembuatannya dari awal sampai akhir. Beberapa pekerjanya ada yang berasal dari bekas korban Perang Vietnam, tentu anggota badannya ada yang tidak lengkap lagi. Seperti biasa, setelah itu tamu digiring ke art shop-nya yang menarkan hasil produksi kerajinan tersebut dengan label harga dalam USD.
Di kawasan Cu Chi Tunnels tampak jelas bekas-bekas perlawanan rakyat Vietnam, lubang bekas jatuhnya bom B52 dan bekas-bekas kerusakan lainnya yang terjadi selama perang.
Aku coba masuk ke dalam lubang persembunyian yang sempit bercabang. Di dalam lubang yang menyerupai saluran air dalam tanah terdapat dapur, rumah sakit bawah tanah, bunker pembuatan amunisi dan bunker untuk rapat gerilya.
Disamping itu, istriku mencoba menyewa senjata laras panjang model lama berikut amunisinya dan ditembakkan ke area khusus pada lapangan tembak. Di akhir tour ini, kami disuguhi singkong rebus dan teh Vietnam, yakni makanan yang sama serupa dengan yang ada di tanah air. Hampir pukul lima sore, kami peserta tour diantar ke hotel masing-masing.
@MEKONG DELTA
Setelah merasakan beberapa tour di sekitaran HCMC, hari berikutnya kucoba Mekong Delta Tour selama tiga hari plus dua hari Phnom Penh di Kamboja (Mytho - Bentre - Cantho - Longxuyen - Chaudoc - Phnom Penh - Saigon). Total biaya 196 USD untuk aku berdua bersama istri.
Hari pertama, bus berangkat menuju Mytho. Kemudian, dengan boat main ke pasar terapung, rumah terapung di Sungai Mekong, menikmati indahnya Pulau Dragon, Unicon, Turtle dan Phoenix. Boat berhenti untuk makan siang. Pilihan kami hanya steam fish dan steam rice (nasi putih) saja. Masalahnya, yang lain ada olahan B2 nya.
Tour dilanjutkan ke Bentre, mampir di workshop coconut candy (gula-gula dari sari kelapa) dan berhenti sejenak ke peternakan lebah madu. Di sini, aku disajikan teh, madu dan rice wine. Di tempat yang lain, sambil rileks mendengarkan alunan lagu tradisonal Vietnam dari penyanyi lokal, aku disuguhi minuman dan aneka buah segar.
Boat kembali ke Mytho, dan transfer ke bus menuju Can Tho, lalu pindah lagi pakai boat menuju homestay di tepi Sungai Mekong. Sambil menanti hadirnya makan malam, aku bersama istriku melihat-lihat ke dapur menyaksikan tuan rumah memasak untuk kami semua. Istriku mmembisikan tuan rumah, "Nanti kami disediakan ikan dan buah-buahan saja ya. Karena kami Muslim." Acara makan malam bareng peserta tour lainnya tengah dimulai. Kami semeja dengan rekan asal Australia, sedangkan di meja lain ada yang berasal dari Spanyol dan Amerika. Di meja lain, disamping santap malam mereka juga berpesta menikmati bir. Di meja kami tersedia seafood yang dibalut dengan roll rice, nikmatnya sungguh luar biasa. Perut sudah kekenyangan, sudah waktunya menuju ke peraduan berbaring di atas ranjang berangka besi lengkap dengan kasur dan kelambunya.
Fajar pagi ini menandai hadirnya kehidupan baru hari ini. Aku bergegas ke kamar mandi yang bernuansa tradisional. Sehabis sarapan, kami trekking menyusuri tepian sungai, sawah dan kebun. Dilanjutkan dengan perahu menyusuri sungai dan meniti jembatan bambu menyebrangi sungai hanya untuk menikmati segarnya buah-buahan hasil kebun penduduk lokal.
Dimulai Tour Half Day Tour, biayanya 4 USD plus guide. Dijemput pada pagi hari sekitar pukul delapan pas. Spot yang dikunjungi seperti Giac Lam Pagoda, China Town, Binh Tay Market, Thein Hau Temple, Reunification Palace dan War Museum (tiket 1 USD). Di sebelah War Museum ada bekas Penjara Chuong Cop. Lalu tour diteruskan ke Gereja Notre Dame Kathedral dan berakhir di Kantor Pos Besar peninggalan kolonial yang berada tepat di samping kathedral.
Hari berikutnya kucoba One Day HCMC Tour biayanya 8 USD plus guide. Tujuannya ke Cu Chi Tunnels dan tiket masuknya 75.000 VND.
Cu Chi Tunnels adalah terowongan yang digali manual oleh rakyat Vietnam di kawasan Ben Dinh dan merupakan bagian dari terowongan sepanjang 200 km di bawah tanah yang dipakai selama perang Vietnam melawan Amerika Serikat.
Sebelum tiba di Cu Chi Tunnels, aku dibelokkan ke salah satu handycraft factory yang memproduksi seni kerajinan dari kulit telur. Di sini, dapat disaksikan langsung proses pembuatannya dari awal sampai akhir. Beberapa pekerjanya ada yang berasal dari bekas korban Perang Vietnam, tentu anggota badannya ada yang tidak lengkap lagi. Seperti biasa, setelah itu tamu digiring ke art shop-nya yang menarkan hasil produksi kerajinan tersebut dengan label harga dalam USD.
Di kawasan Cu Chi Tunnels tampak jelas bekas-bekas perlawanan rakyat Vietnam, lubang bekas jatuhnya bom B52 dan bekas-bekas kerusakan lainnya yang terjadi selama perang.
Aku coba masuk ke dalam lubang persembunyian yang sempit bercabang. Di dalam lubang yang menyerupai saluran air dalam tanah terdapat dapur, rumah sakit bawah tanah, bunker pembuatan amunisi dan bunker untuk rapat gerilya.
Disamping itu, istriku mencoba menyewa senjata laras panjang model lama berikut amunisinya dan ditembakkan ke area khusus pada lapangan tembak. Di akhir tour ini, kami disuguhi singkong rebus dan teh Vietnam, yakni makanan yang sama serupa dengan yang ada di tanah air. Hampir pukul lima sore, kami peserta tour diantar ke hotel masing-masing.
@MEKONG DELTA
Setelah merasakan beberapa tour di sekitaran HCMC, hari berikutnya kucoba Mekong Delta Tour selama tiga hari plus dua hari Phnom Penh di Kamboja (Mytho - Bentre - Cantho - Longxuyen - Chaudoc - Phnom Penh - Saigon). Total biaya 196 USD untuk aku berdua bersama istri.
Hari pertama, bus berangkat menuju Mytho. Kemudian, dengan boat main ke pasar terapung, rumah terapung di Sungai Mekong, menikmati indahnya Pulau Dragon, Unicon, Turtle dan Phoenix. Boat berhenti untuk makan siang. Pilihan kami hanya steam fish dan steam rice (nasi putih) saja. Masalahnya, yang lain ada olahan B2 nya.
Tour dilanjutkan ke Bentre, mampir di workshop coconut candy (gula-gula dari sari kelapa) dan berhenti sejenak ke peternakan lebah madu. Di sini, aku disajikan teh, madu dan rice wine. Di tempat yang lain, sambil rileks mendengarkan alunan lagu tradisonal Vietnam dari penyanyi lokal, aku disuguhi minuman dan aneka buah segar.
Boat kembali ke Mytho, dan transfer ke bus menuju Can Tho, lalu pindah lagi pakai boat menuju homestay di tepi Sungai Mekong. Sambil menanti hadirnya makan malam, aku bersama istriku melihat-lihat ke dapur menyaksikan tuan rumah memasak untuk kami semua. Istriku mmembisikan tuan rumah, "Nanti kami disediakan ikan dan buah-buahan saja ya. Karena kami Muslim." Acara makan malam bareng peserta tour lainnya tengah dimulai. Kami semeja dengan rekan asal Australia, sedangkan di meja lain ada yang berasal dari Spanyol dan Amerika. Di meja lain, disamping santap malam mereka juga berpesta menikmati bir. Di meja kami tersedia seafood yang dibalut dengan roll rice, nikmatnya sungguh luar biasa. Perut sudah kekenyangan, sudah waktunya menuju ke peraduan berbaring di atas ranjang berangka besi lengkap dengan kasur dan kelambunya.
Fajar pagi ini menandai hadirnya kehidupan baru hari ini. Aku bergegas ke kamar mandi yang bernuansa tradisional. Sehabis sarapan, kami trekking menyusuri tepian sungai, sawah dan kebun. Dilanjutkan dengan perahu menyusuri sungai dan meniti jembatan bambu menyebrangi sungai hanya untuk menikmati segarnya buah-buahan hasil kebun penduduk lokal.
Sungai Mekong sangat berarti bagi kehidupan rakyat Vietnam. Sungai ini merupakan yang terpanjang di Asia. Aliran airnya mulai dari China, Laos, Vietnam, Thailand, Myanmar dan Kamboja. Karena penting dan vitalnya sungai ini, warga Vietnam senantiasa menjaga kelestariannya agar setiap saat bisa dimanfaatkan untuk transportasi, sumber air, hasil sungai, pasar terapung, perikanan, pertanian dan pariwisata.
Di hari kedua, perjalanan dilanjutkan ke Pasar Terapung CM Rang dan Phong Dien, menyaksikan aktivitas sehari-hari penduduk sepanjang Sungai Mekong. Di dekat situ juga ada pengolahan padi menjadi beras, sampai proses pe-packing-an. Bukan itu saja, yang ada produksi pembuat rice noodle (mihun putih). Vietnam memang dikenal produksi berasnya yang luar biasa jumlahnya. Indonesia saja sering mengimport dari negeri ini. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Chaudoc. Sebelum tiba di Chaudoc, kami mampir ke taman buaya. Sedangkan di kota kecil Chaudoc sendiri kami ke Caved Pagoda dan Lady Chua Xu Temple. Di Chaudoc kuakhiri sewa ojek ke Sam Mountain melihat perbatasan (border) antara Vietnam - Kamboja. Dan menjelang hadirnya malam, dari atas situ aku menyaksikan sunset yang keindahannya luar biasa.
Hebat ... hebat ... harus kuakui, Vietnam bisa mengemas apa saja sumber alamnya untuk dijual ke wisatawan mancanegara. Penggilingan beras saja bisa dikemas apik yang menjadi daya pikat wisatawan dari Eropa dan Amerika. Begitu juga persawahan dan kebun-kebun yang menghasilkan beragam jenis buah segar yang menggugah selera untuk dinikmati. Sebetulnya, kalau cuma itu saja, di negeriku juga ada, namun belum bisa dikemas seapik Vietnam yang banyak mendatangkan devisa buat negara.
MENUJU CAMBODIA
Hari ketiga selepas sarapan, aku bersama istri naik boat bermesin klotok (slow boat) menuju floating village (kampung terapung). Melihat kehidupan para petani ikan yang ladang ikannya berada di bawah rumahnya yang terapung. Jadi di bawah setiap rumah terdapat keranda ikan sebagai ladangnya. Dilanjutkan ke Perkampungan Muslim Cham yang berada di pinggir Sungai Mekong. Di kampung ini tampak anak-anak sedang belajar membaca Al Qur'an dan belajar Bahasa Arab. Istriku memberi sebuah Al Qur'an yang sengaja dibawanya kepada salah satu penduduk Cham dan membeli beberapa kerajinan hasil buatannya. Penduduk Cham banyak yang bisa berbahasa Melayu.
Boat meluncur lagi menuju perbatasan Kamboja. Paspor, pas foto dan uang 22 USD untuk Visa dikumpulkan pada asisten tour, kemudian mengisi form imigrasi. Semua itu dilakukan di atas boat berkapasitas sepuluh orang. Di atas boat juga disediakan penukaran uang USD, Dong Vietnam dan Riel Kamboja. Tiba di border sisi Kamboja, aku ke check point imigrasi untuk pemeriksaan paspor dan Visa. Lalu dengan boat lain milik negara Kamboja, kami meluncur lagi menuju Neak Luong, 60 km sebelum kota Phnom Penh. Menuju Ibukota Kamboja ini, kami tempuh dengan mobil paket tour selama satu jam.
Akhirnya, kami sampai juga di Phnom Penh. Guide di Kamboja sudah lama menunggu kedatanganku. Disamping sebagai guide, dia juga merangkap jadi sopir tuk-tuk. Setelah menempuh perjalanan panjang mulai pagi hingga menjelang malam, merasakan jalan darat dan transportasi sungai antar negara, tuk-tuk membawaku ke hotel.
Hotel kami letaknya tidak jauh dari Independence Monument, yaitu spot yang pertama kali kujelajahi sebelum tidur. Juga untuk makan malam, aku mampir ke restoran 'Maharaja India'. Ketika makan malam bersama sopir tuk-tuk, dia bercerita tentang negaranya, Kamboja. Menurut dia, kesejahteraan rakyat kurang merata, masih banyak orang yang miskin dan lapangan kerja masih terbatas. Maklum, pemimpinnya cukup lama berkuasa seperti yang dulu pernah kita alami di negeri sendiri. Yang membuat aku terharu, dia bercerita bahwa ayahnya dan beberapa anggota keluarganya menjadi korban kekejaman Rezim Pol Pot. Dia tertunduk sedih, merasakan pedihnya ditinggal orang-orang yang mereka sayangi. Semuanya telah tiada sejak dia masih kecil. Aku ikut prihatin dan juga tertunduk sedih bersimpati padanya. Aku berjanji kalau ke Kamboja lagi, aku pasti mampir mencarinya, sahabatku.
SPOT'S WISATA @PHNOM PENH
Keesokan harinya setelah sarapan pagi, aku dijemput guide dengan tuk-tuknya menuju Genocide Museum Toul Sleng. Yaitu sebuah bangunan sekolah yang pada masa Khmer Rouge dijadikan sebagai penjara dan tempat penyiksaan orang-orang yang dianggap membahayakan pemerintah. Para korban, akhirnya dibunuh di Choeung Ek.
Di tempat inilah lebih dari seratusan orang setiap hari disiksa dengan berbagai alat mengerikan yang masih bisa dilihat di dalam museum ini. Mereka yang tewas mengenaskan akibat disiksa, dikubur di bagian depan museum. Bangunan ini terdiri dari dua buah gedung, masing-masing berlantai tiga. Memasuki bangunan ini, harus mempunyai nyali yang besar terutama kaum hawa. Berbagai alat untuk menyiksa asli masih bisa dilihat. Foto-foto korban, deorama dan berbagai ilustrasi di setiap ruangan bangunan ini benar-benar membuat suasana jadi mencekam. Bulu kuduk jadi berdiri. Di setiap ruangan terdapat larangan tertawa. Kunjungan ke museum ini diakhiri dengan menyaksikan pemutaran video selama satu jam tentang perjuangan rakyat Kamboja.
Setelah mengunjungi museum kesedihan, berikutnya menuju ke tempat yang suasananya hampir sama dengan Toul Sleng, yaitu Killing Fields of Choeung Ek. Di sini, banyak saksi bisu bekas-bekas pembunuhan dan kuburan lebih dari tujuh belas ribu orang segala umur dibunuh secara kejam oleh kelompok Khmer Rouge pada tahun 1975-1978. Saksi bisu kejadian yang mengenaskan itu seperti rumah-rumah kayu, pohon lokasi penyiksaan, dan lubang-lubang tempat mayat ditimbun. Di bagian lain dekat pintu masuk, berdiri sebuah monumen penghormatan yang di dalamnya terseimpan lebih dari sepuluh ribu tengkorak kepala manusia dan pakaian para korban pembunuhan massal.
Masih sedih rasanya setelah menyaksikan dua tempat kejadian yang kejam dan biadab itu. Sambil masih diam membisu, aku menuju ke Kampung kilometer 7 - 9, yakni Kampung Muslim di Phnom Penh. Di sini, aku sempat menenangkan diri paska menyaksikkan bekas kekejaman Rezim Pol Pot. Aku shallat di salah satu masjid besar di kampung ini (di sini terdapat tiga masjid besar).
Kemudian, makan siang di Restoran Maharaja India, booking bus untuk kembali ke Saigon (HCMC) besok pagi, ke Russian Market, ke Royal Palace di depan Sungai Tonle Sap.
Sayang, aku cuma dua hari saja di Phnom Penh, padahal lima hari lagi ada festival dayung tingkat dunia di Sungai Tonle Sap. Perahu-perahu hias dan panggung acara sudah disiapkan. Rencananya festival ini akan disaksikan oleh Raja Sihanouk. Kulihat ada bendera Sang Saka Merah Putih bertengger megah di antara deretan tiang-tiang bendera negara lain. Sore hari ini kucukupkan sampai di sini kembali ke hotel untuk mandi dan istirahat.
Malam terakhir di Phnom Penh Kamboja, kusempatkkan jalan kaki menjelajahi jalan-jalan utama ibukota. Aku pilih jalan yang penuh dengan keramaian sepanjang Sungai Tonle Sap. Di sekitar sini memang ramai dan dekat dengan kawasan backpacker. Agen-agen perjalanan (travel) dan pedagang kaki lima pinggir jalan juga banyak di sekitar sini. Jangan heran, di sini banyak penjual makanan ekstrim, seperti berbagai serangga goreng, kelabang, kalajengking atau ular. Bukan itu saja, mobil mewah keluaran terbaru pun banyak bersliweran di jalan-jalan utama Kota Phnom Penh. Anehnya, semua tanpa plat nomor kendaraan.
Sebetulnya kalau mau ke Siem Reap sudah tidak jauh lagi dari Phnom Penh. Kalau naik bus atau boat, hanya memerlukan beberapa jam saja untuk sampai ke sana. Sayang, sebelumnya aku sudah pernah ke Siem Reap untuk menyaksikan salah satu keajaiban dunia, yaitu Angkor Wat.
BACK to SAIGON (HCMC)
Esok harinya selepas sarapan pagi, aku dijemput tuk-tuk lagi menuju agen bus untuk kembali ke Saigon (HCMC). Bus berangkat pukul tujuh tiga puluh pagi. Karena ada jembatan yang belum selesai, bus harus menyebrangi Sungai Mekong dengan ferry selama sepuluh menit. Selanjutnya bus melaju menuju border Kamboja dan Vietnam.
Seperti biasanya di border, di situ semua barang bawaan harus diturunkan. Kemudian paspor dikumpulkan oleh kondektur bus dan dibawa ke imigrasi. Setiap penumpang menunggu dipanggil satu persatu untuk mengambil paspornya masing-masing yang telah distempel imigrasi. Lanjut naik bus kembali, kali ini pemeriksaan paspor di imigrasi Vietnam. Setelah keluar masuk imigrasi dua negara, bus berhenti di salah satu rumah makan dan akhirnya kami tiba di Saigon pada pukul satu siang.
Karena ini malam terakhir di Vietnam, kami ke pasar malam di sekitar Benh Thank Market. Harga-harga barang di sini terkenal murah dan cukup baik kualitasnya.
BACK to JAKARTA
Hari terakhir di Vietnam, aku ke Masjid Dong Du dan ke City Hall. Sorenya, persiapan perjalanan pulang ke tanah air. Sebagai penutup aku bocorkan biaya perjalanan selama sebelas hari mulai dari Malang - Jakarta (KA Executive Gajayana), Jakarta - Vietnam (Plane AA pp), Vietnam - Kamboja (boat), Kamboja - Vietnam (bus), Jakarta - Surabaya (Plane AA) dan Surabaya - Malang (travel). Total 9,5 Juta Rupiah, pergi berdua dengan istri, sudah termasuk oleh-oleh dua juta rupiah. Hhe ... lumayan murah bukan ?
Tunggu kisah perjalananku berikutnya. Dan Salam hangat dari kami.
Info terbaru:
Di hari kedua, perjalanan dilanjutkan ke Pasar Terapung CM Rang dan Phong Dien, menyaksikan aktivitas sehari-hari penduduk sepanjang Sungai Mekong. Di dekat situ juga ada pengolahan padi menjadi beras, sampai proses pe-packing-an. Bukan itu saja, yang ada produksi pembuat rice noodle (mihun putih). Vietnam memang dikenal produksi berasnya yang luar biasa jumlahnya. Indonesia saja sering mengimport dari negeri ini. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Chaudoc. Sebelum tiba di Chaudoc, kami mampir ke taman buaya. Sedangkan di kota kecil Chaudoc sendiri kami ke Caved Pagoda dan Lady Chua Xu Temple. Di Chaudoc kuakhiri sewa ojek ke Sam Mountain melihat perbatasan (border) antara Vietnam - Kamboja. Dan menjelang hadirnya malam, dari atas situ aku menyaksikan sunset yang keindahannya luar biasa.
Hebat ... hebat ... harus kuakui, Vietnam bisa mengemas apa saja sumber alamnya untuk dijual ke wisatawan mancanegara. Penggilingan beras saja bisa dikemas apik yang menjadi daya pikat wisatawan dari Eropa dan Amerika. Begitu juga persawahan dan kebun-kebun yang menghasilkan beragam jenis buah segar yang menggugah selera untuk dinikmati. Sebetulnya, kalau cuma itu saja, di negeriku juga ada, namun belum bisa dikemas seapik Vietnam yang banyak mendatangkan devisa buat negara.
MENUJU CAMBODIA
Hari ketiga selepas sarapan, aku bersama istri naik boat bermesin klotok (slow boat) menuju floating village (kampung terapung). Melihat kehidupan para petani ikan yang ladang ikannya berada di bawah rumahnya yang terapung. Jadi di bawah setiap rumah terdapat keranda ikan sebagai ladangnya. Dilanjutkan ke Perkampungan Muslim Cham yang berada di pinggir Sungai Mekong. Di kampung ini tampak anak-anak sedang belajar membaca Al Qur'an dan belajar Bahasa Arab. Istriku memberi sebuah Al Qur'an yang sengaja dibawanya kepada salah satu penduduk Cham dan membeli beberapa kerajinan hasil buatannya. Penduduk Cham banyak yang bisa berbahasa Melayu.
Boat meluncur lagi menuju perbatasan Kamboja. Paspor, pas foto dan uang 22 USD untuk Visa dikumpulkan pada asisten tour, kemudian mengisi form imigrasi. Semua itu dilakukan di atas boat berkapasitas sepuluh orang. Di atas boat juga disediakan penukaran uang USD, Dong Vietnam dan Riel Kamboja. Tiba di border sisi Kamboja, aku ke check point imigrasi untuk pemeriksaan paspor dan Visa. Lalu dengan boat lain milik negara Kamboja, kami meluncur lagi menuju Neak Luong, 60 km sebelum kota Phnom Penh. Menuju Ibukota Kamboja ini, kami tempuh dengan mobil paket tour selama satu jam.
Akhirnya, kami sampai juga di Phnom Penh. Guide di Kamboja sudah lama menunggu kedatanganku. Disamping sebagai guide, dia juga merangkap jadi sopir tuk-tuk. Setelah menempuh perjalanan panjang mulai pagi hingga menjelang malam, merasakan jalan darat dan transportasi sungai antar negara, tuk-tuk membawaku ke hotel.
Hotel kami letaknya tidak jauh dari Independence Monument, yaitu spot yang pertama kali kujelajahi sebelum tidur. Juga untuk makan malam, aku mampir ke restoran 'Maharaja India'. Ketika makan malam bersama sopir tuk-tuk, dia bercerita tentang negaranya, Kamboja. Menurut dia, kesejahteraan rakyat kurang merata, masih banyak orang yang miskin dan lapangan kerja masih terbatas. Maklum, pemimpinnya cukup lama berkuasa seperti yang dulu pernah kita alami di negeri sendiri. Yang membuat aku terharu, dia bercerita bahwa ayahnya dan beberapa anggota keluarganya menjadi korban kekejaman Rezim Pol Pot. Dia tertunduk sedih, merasakan pedihnya ditinggal orang-orang yang mereka sayangi. Semuanya telah tiada sejak dia masih kecil. Aku ikut prihatin dan juga tertunduk sedih bersimpati padanya. Aku berjanji kalau ke Kamboja lagi, aku pasti mampir mencarinya, sahabatku.
SPOT'S WISATA @PHNOM PENH
Keesokan harinya setelah sarapan pagi, aku dijemput guide dengan tuk-tuknya menuju Genocide Museum Toul Sleng. Yaitu sebuah bangunan sekolah yang pada masa Khmer Rouge dijadikan sebagai penjara dan tempat penyiksaan orang-orang yang dianggap membahayakan pemerintah. Para korban, akhirnya dibunuh di Choeung Ek.
Di tempat inilah lebih dari seratusan orang setiap hari disiksa dengan berbagai alat mengerikan yang masih bisa dilihat di dalam museum ini. Mereka yang tewas mengenaskan akibat disiksa, dikubur di bagian depan museum. Bangunan ini terdiri dari dua buah gedung, masing-masing berlantai tiga. Memasuki bangunan ini, harus mempunyai nyali yang besar terutama kaum hawa. Berbagai alat untuk menyiksa asli masih bisa dilihat. Foto-foto korban, deorama dan berbagai ilustrasi di setiap ruangan bangunan ini benar-benar membuat suasana jadi mencekam. Bulu kuduk jadi berdiri. Di setiap ruangan terdapat larangan tertawa. Kunjungan ke museum ini diakhiri dengan menyaksikan pemutaran video selama satu jam tentang perjuangan rakyat Kamboja.
Setelah mengunjungi museum kesedihan, berikutnya menuju ke tempat yang suasananya hampir sama dengan Toul Sleng, yaitu Killing Fields of Choeung Ek. Di sini, banyak saksi bisu bekas-bekas pembunuhan dan kuburan lebih dari tujuh belas ribu orang segala umur dibunuh secara kejam oleh kelompok Khmer Rouge pada tahun 1975-1978. Saksi bisu kejadian yang mengenaskan itu seperti rumah-rumah kayu, pohon lokasi penyiksaan, dan lubang-lubang tempat mayat ditimbun. Di bagian lain dekat pintu masuk, berdiri sebuah monumen penghormatan yang di dalamnya terseimpan lebih dari sepuluh ribu tengkorak kepala manusia dan pakaian para korban pembunuhan massal.
Masih sedih rasanya setelah menyaksikan dua tempat kejadian yang kejam dan biadab itu. Sambil masih diam membisu, aku menuju ke Kampung kilometer 7 - 9, yakni Kampung Muslim di Phnom Penh. Di sini, aku sempat menenangkan diri paska menyaksikkan bekas kekejaman Rezim Pol Pot. Aku shallat di salah satu masjid besar di kampung ini (di sini terdapat tiga masjid besar).
Kemudian, makan siang di Restoran Maharaja India, booking bus untuk kembali ke Saigon (HCMC) besok pagi, ke Russian Market, ke Royal Palace di depan Sungai Tonle Sap.
Sayang, aku cuma dua hari saja di Phnom Penh, padahal lima hari lagi ada festival dayung tingkat dunia di Sungai Tonle Sap. Perahu-perahu hias dan panggung acara sudah disiapkan. Rencananya festival ini akan disaksikan oleh Raja Sihanouk. Kulihat ada bendera Sang Saka Merah Putih bertengger megah di antara deretan tiang-tiang bendera negara lain. Sore hari ini kucukupkan sampai di sini kembali ke hotel untuk mandi dan istirahat.
Malam terakhir di Phnom Penh Kamboja, kusempatkkan jalan kaki menjelajahi jalan-jalan utama ibukota. Aku pilih jalan yang penuh dengan keramaian sepanjang Sungai Tonle Sap. Di sekitar sini memang ramai dan dekat dengan kawasan backpacker. Agen-agen perjalanan (travel) dan pedagang kaki lima pinggir jalan juga banyak di sekitar sini. Jangan heran, di sini banyak penjual makanan ekstrim, seperti berbagai serangga goreng, kelabang, kalajengking atau ular. Bukan itu saja, mobil mewah keluaran terbaru pun banyak bersliweran di jalan-jalan utama Kota Phnom Penh. Anehnya, semua tanpa plat nomor kendaraan.
Sebetulnya kalau mau ke Siem Reap sudah tidak jauh lagi dari Phnom Penh. Kalau naik bus atau boat, hanya memerlukan beberapa jam saja untuk sampai ke sana. Sayang, sebelumnya aku sudah pernah ke Siem Reap untuk menyaksikan salah satu keajaiban dunia, yaitu Angkor Wat.
BACK to SAIGON (HCMC)
Esok harinya selepas sarapan pagi, aku dijemput tuk-tuk lagi menuju agen bus untuk kembali ke Saigon (HCMC). Bus berangkat pukul tujuh tiga puluh pagi. Karena ada jembatan yang belum selesai, bus harus menyebrangi Sungai Mekong dengan ferry selama sepuluh menit. Selanjutnya bus melaju menuju border Kamboja dan Vietnam.
Seperti biasanya di border, di situ semua barang bawaan harus diturunkan. Kemudian paspor dikumpulkan oleh kondektur bus dan dibawa ke imigrasi. Setiap penumpang menunggu dipanggil satu persatu untuk mengambil paspornya masing-masing yang telah distempel imigrasi. Lanjut naik bus kembali, kali ini pemeriksaan paspor di imigrasi Vietnam. Setelah keluar masuk imigrasi dua negara, bus berhenti di salah satu rumah makan dan akhirnya kami tiba di Saigon pada pukul satu siang.
Karena ini malam terakhir di Vietnam, kami ke pasar malam di sekitar Benh Thank Market. Harga-harga barang di sini terkenal murah dan cukup baik kualitasnya.
BACK to JAKARTA
Hari terakhir di Vietnam, aku ke Masjid Dong Du dan ke City Hall. Sorenya, persiapan perjalanan pulang ke tanah air. Sebagai penutup aku bocorkan biaya perjalanan selama sebelas hari mulai dari Malang - Jakarta (KA Executive Gajayana), Jakarta - Vietnam (Plane AA pp), Vietnam - Kamboja (boat), Kamboja - Vietnam (bus), Jakarta - Surabaya (Plane AA) dan Surabaya - Malang (travel). Total 9,5 Juta Rupiah, pergi berdua dengan istri, sudah termasuk oleh-oleh dua juta rupiah. Hhe ... lumayan murah bukan ?
Tunggu kisah perjalananku berikutnya. Dan Salam hangat dari kami.
Info terbaru:
- Bagi pemegang paspor Indonesia, untuk ke Kamboja sudah tidak diperlukan Visa lagi (kesepakatan dua negara pada tanggal 10 Juni 2010).
- Seluruh Penerbangan AA domestik maupun internasional mulai 17 November 2011 menggunakan T3 Bandara Soekarno Hatta.
Copyright© by RUSDI ZULKARNAIN
email : alsatopass@gmail.com
2 comments:
nice post.....beautiful photo.
wcwk Team
http://wcwk.blogspot.com/
like your story in vietnam pak
Post a Comment