TAMPANG PREMAN, SOPIR TUK-TUK ITU TERNYATA RAMAH SEKALI
Usai mengunjungi Masjid Jawa, kami berkeliling Kota Bangkok. Kami juga mampir ke kota tua Ayutthaya yang merupakan ibu kota Thailand tempo dulu.
SELAMA perjalanan wisata backpacker murah meriah di Bangkok, ada hal penting yang membuat saya terkesan. Yaitu, pelayanan orang-orang yang kami tanya saat butuh bantuan, baik sopir taksi, tukang ojek, petugas di stasiun, maupun sopir tuk-tuk (kendaraan seperti bemo di Malang zaman dulu atau bajaj di Jakarta).
Semua orang yang kami tanya itu selalu memberikan jawaban dengan ramah dan mengarahkan dengan benar. Mereka semua jujur. Setidaknya itu kami rasakan mulai ketika pertama naik taksi yang disopiri pengemudi tua yang senang mabuk. Juga ketika kami naik tuk-tuk.
Sopir taksi dan tuk-tuk di Bangkok tidak pernah berebut penumpang atau menawari penumpang dengan cara yang kasar dan tampang sangar. Mereka mengarahkan kepada kami untuk memilih sendiri angkutan apa yang diinginkan. Hal ini jauh berbeda dengan yang kita lihat sehari-hari di Indonesia, termasuk di Malang. Di sini penumpang sering merasa dipaksa untuk naik angkutan umum, bus atau taksi.
Namun, dari sekian banyak orang baik itu, ada dua orang yang kami kenang dan kami catat namanya. Yang pertama seorang gadis berjilbab yang bekerja sebagai pelayan di gerai cepat saji terkenal di dunia di kompleks Stasiun Hua Lamphong Bangkok. Gadis itu bernama Warusnee.
Ceritanya, sepulang mengunjungi Masjid Jawa di Surasak, lalu menyusuri Sungai Chao Phraya dan berkeliling di seputar Grand Palace, kami kembali ke Stasiun Hua Lamphong. Karena waktu yang cukup mepet, saya dan Rusdi Zulkarnain (pemilik Distro Alsatopass Jalan Soekarno-Hatta yang menjadi teman perjalanan dan wisata backpacker murah meriah ke empat negara ini) memutuskan kembali ke Stasiun Hua Lamphong naik taksi dengan hanya membayar THB 60 (Rp. 18 ribu).
Sesampai di Hua Lamphong, kami menuju gerai makanan cepat saji itu. Dari luar kami senang sekali karena sejumlah pelayan di dalam adalah wanita-wanita berjilbab. Dalam pikiran kami, jika pelayannya wanita-wanita berjilbab berarti makanan yang disajikan halal. Dengan santai, kami masuk dan bertanya kepada pelayan berjilbab itu soal makanan yang disajikan.
Wanita itu menyambut dengan ramah. Setelah sedikit berbicara, dia mengajak kami keluar di gerai itu untuk berbicara panjang. "Di sini menunya tidak halal. Kalau ingin menu halal, di stasiun ini ada," katanya dalam bahasa Melayu yang fasih.
Kami ditunjukkan arah warung nasi yang halal itu. Tapi karena banyak warung, kami susah menghafalkan petunjuk wanita bernama Warusnee itu. "Ok ok, ayo aku antar ke sana," ucapnya sembari mengajak kami berjalan. Di pujasera yang ada di kompleks stasiun itu, dengan lincah dan cekatan, Warusnee menunjukkan tempat makanan yang halal serta cara membelinya. Dia menyuruh kami memesan makanan lalu membeli kupon di kasir. Begitu kupon di tangan, dia memintanya dan menyerahkan kepada penjual nasi halal itu. Sisanya adalah kupon untuk membeli air mineral yang letaknya lumayan jauh. "Silakan duduk di sini," katanya sembari meletakkan dua botol air mineral dingin.
Warusnee juga mencarikan tempat duduk untuk kami berdua. Terus terang kami merasa sangat dibantu dan tersanjung mendapatkan pelayanan dari wanita cantik itu. Meski bekerja di gerai rumah makan cepat saji ternama, dia masih bersedia menjadi "pelayan" bagi kami di pujasera.
Begitu kami duduk dan siap menyantap makanan, Warusnee tersenyum lalu memohon diri. Sebelum dia pergi, kami hendak memberikan sedikit uang tips kepadanya. Namun, dengan senyum ramah, Warusnee menolak tips itu. Dia hanya bilang terima kasih. Lalu, dia berpamitan sambil tersenyum. Kami hanya bisa membalas dengan ucapan terima kasih. "Terima kasih ... semoga Tuhan membalas kebaikanmu." ujar saya dalam hati.
Orang kedua yang juga kami kenang adalah Mai. Dia pemuda bekerja sebagai sopir tuk-tuk. Awalnya, kami sempat khawatir saat turun dari kereta api kelas ekonomi di Stasiun Ayutthaya, ibu kota Thailand zaman kuno. Sebab, tampang Mai sangar, gigi depan atasnya hilang dua, dan mengenakan kalung rantai. Sangat terkesan dia seorang preman.
Dia menawari kami untuk menumpang tuk-tuk nya keliling kota tua Ayutthaya. Awalnya, dia menawarkan harga THB 1.200 (sekitar Rp. 375 ribu jika kurs 1 THB sama dengan Rp. 315) untuk empat jam keliling kota. Kami kaget mendengar harga itu karena tinggi. Informasi yang kami dapatkan, biaya untuk keliling kota tua itu hanya sekitar THB 300 untuk dua jam.
Karena itu, kami kurang bersemangat untuk menawar biaya yang disodorkan Mai. Tapi pemuda itu cukup fasih berbahasa Inggris itu tidak menyerah. Dia menurunkan penawarannya menjadi THB 1.000 untuk empat jam. Kami tetap menggeleng. Lalu Mai menurunkan lagi tawarannya dengan syarat jam keliling dikurangi. Maka, dia menulis angka THB 750 di handphone untuk memudahkan kami mengeja. Jumlah itu untuk perjalanan empat jam hingga kembali ke stasiun.
Melihat dia berani menurunkan harga, pikiran kami mulai berubah. Lalu, kami tawarkan angka THB 400. Kini giliran Mai menggeleng kepala. "Ya sudah THB 500 untuk empat jam. Ini penawaran terakhir kami," ujar Rusdi.
Melihat kami hanya mampu menawar di harga itu. Mai lalu memberikan solusi. Dia hanya mau tiga jam. Tetapi kami tetap minta empat jam. Akhirnya kami bersepakat waktunya 3,5 jam. Begitu deal, perjalanan keliling kota tua Ayutthaya dimulai. Tuk tuk melaju dengan kencang menuju ke beberapa candi (wat) terkenal di Ayutthaya.
Sampai di tujuan obyek wisata, Mai juga memperlakukan kami dengan baik. Dia menawari kami untuk membelikan tiket masuk di kompleks yang kami kunjungi. Mai meminta kami menunggu di tuk tuknya. setelah da pat tiket, dia menemani kami masuk dan selalu menawari kami jika ingin dipotretkan. Tawaran semacam ini dia lakukan di semua tempat wisata yang kami kunjungi.
Kami berpikir, meski tampangnya sangar, sebagai sopir tuk tuk, dia mampu menjadi guide yang sangat baik dan ramah. "If you enjoy, I am enjoy too (jika anda senang, saya ikut senang)," katanya lantas tersenyum memperlihatkan gigi ompongnya.
Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang
No comments:
Post a Comment