KUNJUNGI PASAR MALAM CHIANG MAI
Puas berkeliling Bangkok dan Ayutthaya, kami meneruskan perjalanan ke Chiang Mai, Thailand Utara.
DARI Ayutthaya ke Chiang Mai, saya dan Rusdi Zulkarnain (pemilik Distro Alsatopass Jl Soekarno-Hatta yang menjadi teman seperjalanan wisata backpacker ini) menumpang kereta api (KA) eksekutif dengan tarif THB 791 atau Rp 245 ribuan untuk tempat tidur atas. Kereta eksekutif yang kami tumpangi dilengkapi tempat tidur yang nyaman.
Posisinya ada di bawah dan atas sebagaimana bed tingkat. Untuk menikmati tidur di bed bawah, harganya THB 881 atau sekitar Rp 280 ribuan.
Tiket ini kami beli di Stasiun Hua Lamphong Bangkok, bersamaan saat kami membeli tiket kereta api ekonomi jurusan Ayutthaya yang harganya hanya THB 15 atau Rp 4.500-an untuk jarak 71 kilometer dengan lama perjalanan 1,5 sampai 2 jam. Atau jika KA Penataran, sama dengan jurusan Malang-Blitar.
Sekitar pukul 12.55, kereta api ekonomi melaju ke Ayutthaya. Sampai di sana, kami keliling kota tua tersebut dan kembali ke stasiun untuk menunggu kereta api eksekutif yang datang dari Bangkok dengan jadwal pukul 19.45. Tetapi, kereta eksekutif itu terlambat dan baru datang pukul 21.30.
Kali ini kami sengaja naik kereta eksekutif yang dilengkapi tempat tidur karena kami ingin istirahat di perjalanan. Sebab, perjalanan yang kami lakukan sebelumnya sangat menguras tenaga. Belum lagi udara Thailand yang panas.
Kali ini kami sengaja naik kereta eksekutif yang dilengkapi tempat tidur karena kami ingin istirahat di perjalanan. Sebab, perjalanan yang kami lakukan sebelumnya sangat menguras tenaga. Belum lagi udara Thailand yang panas.
Begitu masuk kereta eksekutif yang ber-AC itu, badan terasa mendapatkan suntikan semangat baru. Di dalam kereta kami langsung meminta petugas mengubah tempat duduk menjadi tempat tdur. Satu di atas satu di bawah. Tapi malam itu kami tidak tidur terpisah, melainkan memilih tidur berdua di bawah karena bed itu memang cukup untuk berdua. Kami tidur bersebelahan dengan dua remaja bule berlawanan jenis yang tidur seranjang. Tempat tidur kami dan bule itu hanya ditutupi tirai kain.
Karena kelelahan, kami pun cepat terlelap. Pukul 03.30, kami terbangun. Ingat belum jalankan shalat Maghrib dan Isya, saya langsung menuju kamar kecil untuk mengambil air wudhu, lalu mengerjakan shalat sambil duduk di atas kasur tempat tidur bagian atas.
Malam itu badan ini serasa sangat segar. Suasana juga tenang karena semua terlelap tidur. Setelah shalat, mata ini susah terpejam. Maka sekalian menunggu shubuh yang tiba sekitar pukul 05.00, saya membuka netbook untuk menulis berita. Sambil duduk bersandar, penulis letakkan netbook di pangkuan dan memulai merangkai kata. Alhamdulillah, pada sisa malam itu, saya bisa menyelesaikan dua episode tulisan sebelum baterai di netbook habis. Tak lama berselang, Rusdi bangun untuk menunaikan shalat jamak sambil sekalian menunggu shalat shubuh.
Biasanya, setelah shalat shubuh, saya tidur lagi hingga sekitar satu jam. Di kereta api itu, saya sebenarnya juga ingin melanjutkan tidur setelah shalat shubuh. Namun, saat itu semua penumpang sudah bangun, termasuk bule di sebelah kami. Keduanya malah sudah menikmati makanan dan kopi sambil sesekali berciuman. Kami jadi tak enak memandangnya. Apalagi si bule wanita berparas cantik itu hanya mengenakan pakaian minim. Aih aihh.
Saat itu, Rusdi juga menemukan tempat colokan listrik yang bisa digunakan untuk nge-charge HP. Maka, dia pun menge-charge kameranya yang sudah kehabisan baterai. Sedangkan saya nge-charge netbook untuk memindah foto-foto dari kamera dan melanjutkan menulis berita.
Sementara kereta yang kami tumpangi terus melaju menembus bukit-bukit gersang menuju Chiang Mai. Perjalanan berlangsung selama 13 jam dari Ayutthaya. Karena keterlambatan kereta itu, jadwal kami selama di Chiang Mai menjadi terganggu dan harus direvisi.
Begitu turun dari kereta api, kami langsung mencari hotel yang berada di dekat stasiun. Sebenarnya, banyak agen travel yang siap melayani. Sebab, di stasiun itu memang disediakan berbagai pusat informasi seputar perjalanan wisata dan hotel. Para pengunjung bisa menanyakan apa saja di pusat informasi itu.
Namun, kami menolak tawaran agen travel karena harga yang ditawarkan di atas yang kami patok meskipun harga itu juga tidak terlalu mahal. Kami memilih mencari penginapan murah. Kami lalu berjalan menyusuri jalanan di sekitar stasiun. Alhamdulillah kami menemukan penginapan murah meriah namun sangat layak. Semalam, kami cukup membayar THB 250 atau sekitar Rp 75 ribu. Kami pun langsung merebahkan badan sejenak lalu memasak air dan menanak nasi.
Di Chiang Mai, kami mengunjungi Kalare Night Market dengan menyewa songthew. Songthew adalah angkutan umum semacam mikrolet di Kota Malang dengan tarif THB 40 atau sekitar Rp 12 ribu berdua. Sesampai di Kalare Night Market, pikiran kami melayang ke kawasan Pasar Minggu di Malang. Bedanya, di Chiang Mai, Kalare Night Market mulai buka sore hingga tengah malam setiap hari. Lalu, para pedagang kaki lima di sana menjajakan dagangannya di trotoar. Bukan di jalan sebagaimana Pasar Minggu Kota Malang.
Di kawasan Kalare Night Market, juga ada kompleks khusus untuk pedagang permanen yang dilengkapi dengan panggung ukuran sedang yang bisa digunakan untuk pentas. Di kanan kiri panggung terdapat kafe-kafe yang asyik untuk kongkow. Karena penataan yang rapi, kompleks Kalare Night Market sangat nyaman dijadikan tempat berbelanja barang-barang murah. Banyak sekali wisatawan asing yang datang ke tempat ini.
Di sela-sela keliling pasar malam itu, kami bertanya tentang masjid kepada seorang pedagang muslimah. Dia menunjukkan masjid itu berada tak jauh dari Kalare Night Market. Kami langsung mencari masjid itu. Hanya memakan waktu lima menit untuk sampai ke masjid yang diberi nama Hidayatul Islam Banhaw itu.
Umar, imam masjid itu, menyampaikan bahwa Masjid Hidayatul Islam ini adalah yang terbesar di Chiang Mai. Di kota ini, ada 17 masjid yang tersebar di beberapa titik. Sedangkan jumlah umat Islam di wilayah tersebut diperkirakan mencapai 13 ribu. Mereka kebanyakan dari etnis China. Dulu, Islam masuk ke Chiang Mai karena dibawa perantau dari China.
Sementara, jika dilihat dari bangunannya, masjid ini cukup mewah. Di kompleks masjid juga terdapat bangunan bertingkat yang megah untuk madrasah dan boarding (pesantren). Lingkungan di Masjid Hidayatul Islam juga rapi dan bersih sekali.
Ada 180 santri di sana. Tetapi yang menetap sekitar 40 orang. "Bulan ini mereka sedang libur dua bulan. Jadi asrama masih kosong," ungkap Umar. Selesai bersilaturahmi di Masjid Hidayatul Islam, kami kembali keliling pasar malam dan pulang naik tuk-tuk.
Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang
No comments:
Post a Comment