BERAMAL LEWAT TULISAN

Thursday, 3 May 2012

Jadi Backpacker, Berkeliling Murah Meriah ke 12 Kota di 4 Negara (6)





LIHAT TIGA NEGARA DARI GOLDEN TRIANGLE

Tujuan kami berikutnya adalah Hot Spring, White Temple, dan Golden Triangle. Tak ketinggalan kami mengunjungi suku Karen yang dikenal dengan long neck (leher panjang)-nya. 

UNTUK pergi ke tempat-tempat itu, kami mengikuti one day tour dari Chiang Mai, Thailand. Perjalanan ini kami tempuh dengan travel untuk menekan biaya dan waktu. Sebab, jika berangkat sendiri naik kendaraan umum, akan menguras waktu dan tenaga. Perjalanan yang akan ditempuh memang lumayan jauh. Pulang pergi membutuhkan waktu sehari.

Tujuan pertama kami adalah Hot Spring. Ini semacam rest area di pinggir jalan yang menembus hutan. Di sana terdapat sumber air panas sebagaimana di Cangar atau Songgoriti, Kota Batu. Namun, Hot Spring ini kecil. Meski demikian, kelihatan menarik karena air yang sedikit itu disemprotkan ke atas bagai air mancur besar. Jadi, ada kesan airnya muncrat langsung dari bawah. Padahal, itu karena dipompa.

Melihat Hot Spring, teman seperjalanan saya, Rusdi Zulkarnain, hanya geleng-geleng kepala. "Lha di Cangar malah bisa untuk renang. Gini aja dipromosikan gede-gedean,"  ungkapnya dengan nada gurau.


Sewaktu kendaraan mulai meninggalkan Hot Spring, kami teringat ada sesuatu yang kurang. Yaitu satu tas kami ketinggalan di hotel Chiang Mai. Inilah tragedi yang menguras pikiran dan kantong kami. Sebab, dalam tas itu terdapat sejumlah barang berharga. Ingin kembali tidak mungkin karena ikut travel dan jaraknya juga sangat jauh. Maka, selama perjalanan selanjutnya, pikiran kami pecah tidak karuan. Tetapi, kami berusaha tetap tenang dan mencari solusi terbaik.

Kami kemudian minta tolong kepada guide bernama Chao Pon untuk melacak keberadaan tas kami. Kartu nama hotel, nama dan nomor kamar kami serahkan kepadanya. Semua dia urus. Sedangkan kami dipersilakan terus melihat-lihat obyek wisata sampai selesai. Luar biasa tanggung jawab dia, padahal itu bukan urusannya.

Sesampainya kami di obyek wisata berikutnya, White Temple, Pon mengabarkan bahwa tas kami ada di hotel. Hati kami terasa lega. Namun masalahnya adalah bagaimana tas tersebut bisa cepat sampai ke tangan kami. Padahal, kami sudah jauh meninggalkan Chiang Mai.

Karena isi tas tersebut cukup penting, kami bernegosiasi dengan Pon. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, diambil solusi bahwa tas kami diantar taksi. Biayanya kira-kira Rp satu juta. Tas kami diperkirakan tiba di hotel di Chiang Rai sekitar pukul tujuh malam. Untuk mengirim tas tersebut, kami harus mengirim faksimile paspor kami berdua dan memberikan catatan apa saja yang ketinggalan plus tanda tangan.

Petang, kami tiba di Golden Triangle (Segitiga Emas), kawasan milik tiga negara : Thailand, Myanmar, dan Laos. Kawasan ini sebelumnya terkenal sebagai kawasan hitam. Golden Triangle punya sejarah yang panjang mengenai produksi opium, mariyuana, dan heroin. Tetapi, ceritanya berakhir damai. Semua yang terkait dengan Golden Triangle diabadikan di Museum Opium di sana.

Menurut Pon, dulu ada bos mafia bernama Khun Sa. Dialah yang mengatur semua alur penjualan barang haram itu. Bahkan untuk memuluskan usahanya, Khun Sa berani menyuap polisi di tiga negara. Khun Sa yang bernama asli Chang Chi Fu juga disebut Pangeran Kemakmuran. Ayahnya bernama Lao Chang atau Khun Sam. Lao berasal dari Yunnan, China Selatan. Ia adalah anggota tentara nasionalis China, Kuomintang, yang lari ke Myanmar saat Jenderal Koumintang, Chiang Kai Shek, dihalau pasukan komunis China Mao Tse Tung di akhir Perang Dunia II.

Khun Sa lahir di Kota Loi Mo, Negara Bagian Shan, pada Februari 1923. Ia menikah dengan wanita Thailand, Khe Yoon. Khun Sa bisa menikah dengan Khe Yoon karena tahun 1976 menjadi warga negara Thailand dengan nama Chang Chantrakul. Tahun 1963, ia bergabung dengan milisi lokal yang setia kepada Jenderal Myanmar, Ne Win. Milisi lokal ini bernama Kwe Ka Ye (KKY).

Sejak bergabung dengan KKY inilah, Khun Sa mulai berdagang candu. Saat KKY di bawah kendalinya, Khun Sa mulai merangkak menjadi sang jenderal candu.

Karena kegiatan ilegalnya, Khun Sa ditangkap pemerintah Myanmar di Tong Khi pada tahun 1966. Ia dipenjara selama tujuh tahun. Tetapi baru tiga tahun dipenjara, temannya di KKY, Chang Chein Xu alias Fa Lun, menyandera dua dokter Uni Soviet yang bekerja di ibu kota Shan, Tongee. Khun Sa pun dibebaskan dan ditukar dengan kedua dokter itu.

Setelah memiliki 800 milisi, Khun Sa berhenti bekerja sama dengan pemerintah Myanmar dan mengendalikan perdagangan candu di Negara Bagian Shan dan Negara Bagian Wa. Pada tahun 1976, Khun Sa kembali menyeludupkan candu dan mulai bermarkas di Desa Ban Hin Taek. Ia mengganti nama kelompoknya menjadi Angkatan Darat Negara Bagian Shan (Shan State Army/ SSA). Pasukannya dipersenjatai senapan M-16 dan AK 47.

Dengan alasan memperjuangkan otonomi Shan melawan Myanmar, Khun Sa menjadi sang jenderal candu. Pada Oktober 1981, atas desakan Drug Enforcement Agency AS, 39 orang tentara Thailand dan gerilyawan Myanmar berusaha membunuh Khun Sa. Tetapi gagal. Meski demikian, pada Januari 1982, tentara dan polisi perbatasan Thailand berhasil menghalau Khun Sa dan pasukannya dari markasnya di Ban Hin Taek.

Tahun 1985, Khun Sa bergabung dengan pasukan Moh Heng. Aliansi pasukan ini akhirnya di bawah kendalinya. Mereka menguasai Mae Hong Son di perbatasan Thailand-Myanmar. Tahun 1989, Khun Sa dituduh pengadilan New York, AS, mengimpor 1.000 ton heroin. Khun Sa lalu mengancam AS agar membeli seluruh produk candunya atau dia akan membuangnya ke pasar gelap internasional. AS membalasnya dengan iming-iming uang dua juta dollar AS bagi mereka yang bisa menangkap Khun Sa.

Karena khawatir, Khun Sa menyerahkan diri kepada pemerintah Myanmar pada Januari 1996. Setelah menyerahkan diri, pemerintah Myanmar tak pernah menyerahkan Khun Sa kepada AS. Khun Sa menghabiskan sisa hidupnya di Yangoon (dulu Rangoon). Ia menanamkan modalnya di Yangoon, Mandalay, dan Taunggyi. Khun Sa meninggal pada 26 Oktober 2007 di Yangoon pada usia 73 tahun dan dimakamkan di pemakaman Yeway, North Okkalapa, Yangoon. Sejarah itulah yang menjadikan Golden Triangle menjadi tempat tujuan wisata yang menarik.

Sambil mendengar cerita Pon, kami terus menjelajahi Sungai Mekong dengan boat berkapasitas 75 orang. Sungai ini juga menjadi pertemuan dua sungai. Pertigaan sungai tersebut memisahkan Myanmar, Laos, dan Thailand. Dari sungai ini, orang bisa menuju wilayah China Selatan (Yunnan) yang berjarak 2.660 kilometer. Dari sungai ini juga melihat gedung Casino di sisi Myanmar dan Laos yang menghiasi pinggir Sungai Mekong dan beberapa pasar tradisional. Ada juga kapal perang angkatan bersenjata Laos siaga diam di sungai ini.

Boat kami lalu masuk ke wilayah Laos, tepatnya di Donxao. Untuk masuk pasar di wilayah Laos itu, kami tak perlu menunjukkan paspor maupun visa. Kami hanya ditarik THB 20 (Rp. 6.030) sebagai ongkos perahu bolak balik. Unik sekali pasar ini. Banyak barang impor menghiasi dagangan mereka. Semua itu dijual oleh gadis muda Laos yang cantik-cantik dengan kulit halus.


Usai mengunjungi wilayah Laos, kami kembali dan naik bukit untuk melihat Golden Triangle dari atas. Tampak jelas sekali pertemuan dua sungai yang memisahkan Thailand, Myanmar, dan Laos. Di sela-sela makan siang, rupanya kami berdua sudah lama diamati teman lain serombongan yang datang dari Selandia Baru, Portugal, Malaysia, dan Swiss. "Anda dari perusahaan yang sama," tanya seorang turis wanita dari Selandia Baru sambil menunjukkan baju kembar kami yang bertuliskan 'SERATUSNEGARA'. Lalu kami jelaskan bahwa baju yang kami pakai bukan seragam perusahaan, tetapi sebagai seragam untuk keliling ke seratus negara. Mereka lalu manggut-manggut dan mendoakan kami bisa berhasil.

Perjalanan dilanjutkan ke Mae Sai, yaitu perbatasan atau border dengan Tachileik, Myanmar. Suasana di situ juga bisa kami lihat dari ketinggian bukit kecil sekitar border, kemudian menuju perkampungan suku Karen yang dikenal dengan Long Neck Karen Village (Kampung Karen Leher Panjang). Di sini bisa melihat budaya para wanitanya yang memakai gulungan seperti kuningan melingkar di leher. Mereka adalah orang-orang dari Myanmar yang melarikan diri ke Thailnad karena ada pertikaian antar suku. Namun, sampai saat ini, mereka tidak menjadi warga Thailand.



Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang

No comments: