MENIKMATI AIR TERJUN BERTINGKAT KOUANG SI
Luang Prabang di Laos sungguh eksotik. Bukan hanya bangunan-bangunan tua yang masih terpelihara baik sehingga kota ini masuk sebagai world heriitage. Di kota ini juga ada air terjun bertingkat yang indah.
ALARM handphone yang kami setel pukul 04.00 berbunyi, memaksa kami bangun lebih pagi untuk persiapan menunaikan shalat Shubuh. Hari itu kami ingin menjelajahi Kota Luang Prabang, Laos, yang eksotis pada pagi hari sebelum toko-toko dan kantor buka.
Untuk menuju pusat kota yang ditetapkan UNESCO sebagai world heritage (warisan dunia) itu, kami hanya berjalan kaki beberapa puluh meter saja dari guest house. Di Jalan Sisavangvong, terdapat banyak kafe, art shop, money changer, perkantoran, dan agen perjalanan.
Semuanya menempati bangunan model tempo dulu yang masih terpelihara baik. Di sekitar jalan tersebut ada beberapa ikon terkenal Luang Prabang, diantaranya Museum Nasional dan Night Market (pasar malam).
Suasana Luang Prabang sangat menyenangkan. Walaupun kotanya kecil, semuanya terlihat rapi. Jalanan yang bagus, trotoar yang terpelihara dari batu merah, dan kebersihan yang selalu terjaga menjadi magnet utama kota ini. Ditambah lagi keramahan orang Laos yang berkulit putih bersih, semakin betah berlama-lama tinggal di sini.
Di sela-sela menyusuri jalan-jalan di Luang Prabang, kami mencoba masuk ke salah satu pasar tradisional di dekat museum nasional. Blusukan di dalam pasar semakin menambah suka kami terhadap Kota Luang Prabang. Sebab semua yang dijual, seperti sayuran, buah-buahan, dan aneka bumbu masak, kelihatan segar dan masih baru. Hasil pertanian penduduk yang mereka petik langsung dijual di pasar ini.
Asyik-asyiknya blusukan di dalam pasar, tiba-tiba hujan rintik-rintik turun sehingga eksplorasi di Luang Prabang untuk sementara kami akhiri. Untunglah kami sudah sempat beli satu sisir pisang yang harganya LAK (Laos KIP) 10.000 atau sekitar Rp. 10 ribuan. Setelah itu, kami bergegas kembali ke guest house lewat jalan lain menyusuri tepian Sungai Mekong yang menawan.
Kegiatan wajib masak nasi untuk sarapan segera kami lakukan. Kemudian saya dan teman seperjalanan, Rusdi Zulkarnain (pemilik Distro Alsatopass Jl Soekarno-Hatta) bersantai dan mengemasi barang-barang untuk persiapan perjalanan ke ibu kota Laos, Vientiane, malam harinya. Tiket bus VIP tujuan Vientiane, sudah kami beli ketika masuk guest house. Harganya LAK 160.000 (sekitar Rp 160 ribu), sudah termasuk ongkos jemputan ke Southern Bus Terminal.
Ketika masih beristirahat, tepat pukul sebelas siang, ada sopir tuk-tuk datang menjemput kami untuk menuju tempat wisata air terjun. Kouang Si water fall namanya. Menuju ke sana, biayanya LAK 40.000 (sekitar Rp 40 ribu) per orang pergi pulang untuk tiga jam wisata.
Setelah menjemput kami, ada beberapa lagi yang harus dijemput tuk-tuk sehingga penumpangnya menjadi tujuh orang. Waktu yang diperlukan untuk sampai ke Kouang Si sekitar 30 menit melewati jalan yang mulus dan berliku namun sepi. Bersama dua orang asal Republik Ceko, satu bule Amerika, serta ibu dan putrinya dari Swiss, perjalanan kami terasa semarak. Mereka terkekeh-kekeh ketika Rusdi Zulkarnain bertanya kepada orang Swiss. "Apa anda bawa cokelat?" tanya Rusdi dengan nada gurau. Warga Permata Jingga itu juga bertanya kepada orang Ceko yang ikut dalam rombongan. "Apa di negeri anda nggak ada kolam renang, kok jauh-jauh ke sini berenang? just joke," kata Rusdi disambut tawa.
Masuk kawasan air terjun Kouang Si, per orang membayar tiket LAK 20.000. Kawasan ini adalah hutan yang rimbun. Di dalamnya ada rehabilitasi puluhan beruang hitam.
Mulai dari bawah menuju ke atas, kami disuguhi pemandangan air terjun dan kolam alami yang bertingkat-tingkat. Warna air yang kehijauan dan suara air bergemerisik menambah natural tempat wisata ini. Tempat ini menjadi salah satu tujuan utama para turis setelah Kota Luang Prabang. Hampir semua bule yang kemarin satu boat dengan kami dari Chiang Rai bertemu lagi di situ. "Hi guys... how are you?" sapanya.
Puas menikmati air terjun dan berenang di sana, sambil menunggu penumpang yang lain, kami beli ubi bakar dan jus buah yang harganya masing-masing LAK 5.000. Rasa ubi bakarnya enak sekali, mengingatkan kami di negeri sendiri.
Kemudian tuk-tuk meluncur kembali ke Luang Prabang. Mata pun sudah mengantuk. Sesampai di guest house, kami tidak bisa lagi masuk ke kamar karena kami sudah check out. Jadi, kami terpaksa duduk-duduk di teras guest house. Di sela-sela menunggu jemputan ke terminal bus, kami beri ibu pemilik guest house dua bungkus capuccino yang kami bawa dari Indonesia. "Ini buat ibu, capuccino buatan Indonesia," kata Rusdi. "Khwap Jai (terima kasih)," jawab ibu yang memiliki putri cantik bernama Kone ini.
Pukul 18.00, kami diantarkan ke terminal bus. Yang mengantar adalah suami pemilik guest house atau ayah Kone. Rupanya, selain memiliki guest house, dia juga punya tuk-tuk. Kami pun berpamitan kepada ibu pemilik guest house. Namun, waktu itu kami tidak sempat berpamitan kepada gadis yang masih kuliah di jurusan ekonomi manajemen itu.
Sesampai di terminal bus, ternyata terminal itu hanya sekitar separuh Terminal Arjosari. Keramaian penumpang hanya terlihat pada waktu-waktu tertentu. Bus VIP tingkat yang akan membawa kami ke Vientiane telah menunggu. Kami segera naik bersama penumpang lain yang kebanyakan bule. Semuanya duduk di lantai atas. Sedangkan lantai bawah ditempati sopir, bagasi, dan toilet.
Bus pun berangkat pukul 19.30, melaju menembus hutan-hutan selama 12 jam untuk sampai Vientiane. Selama perjalanan, penumpang diberi air mineral, tisu basah, dan makan malam di tengah perjalanan. Bus tiba sekitar pukul 07.00 pagi hari di Nothern Bus Terminal Vientiane. Kami naik angkutan umum menuju tengah kota, mencari pusat penginapan murah di Vientiane. Ongkos angkutan dari terminal ke kota LAK 20.000 per orang.
Kami memilih salah satu guest house di pinggiran Sungai Mekong. Kamar dengan double bed, AC, wifi, serta fasilitas air panas dan dingin. Harganya LAK 110.000 atau Rp 115 ribuan semalam.
Seperti biasa, begitu sampai hotel, kami menanak nasi untuk sarapan. Menjelang siang, kami berkeliling Kota Vientiane. Tujuan pertama adalah taman kota dan monumen di pinggir Sungai Mekong, lalu ke Museum Ho Phra Keo, dan mampir ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Vientiane.
Untuk menuju kedutaan, kami cukup bertanya kepada sopir tuk-tuk dan meminta diantarkan ke sana dengan ongkos KIP 30.000. Banyak sopir yang sudah tahu lokasi KBRI. Di KBRI Vientiane, kami disambut hangat oleh Bambang Eko Sukartono, pelaksana fungsi Konsuler, dan Bayu Yuswan Satria, staf konsuler KBRI.
Bambang menyampaikan, jumlah warga Indonesia yang ada di Laos hanya sekitar 233 orang, termasuk staf KBRI. Mereka rata-rata pekerja di bidang pertambangan yang saat ini mulai bergeliat di Laos. Karena jumlah warganya yang sedikit, persoalan yang terkait dengan warga Indonesia di Laos juga sangat kecil. Menurut Bambang, negara yang berpenduduk hanya sekitar tujuh juta itu terus berupanya membangun. Saat ini sudah banyak wisatawan yang datang ke Laos. "Kota ini semakin bergeliat setelah ditemukan tambang emas," katanya. (yn)
Note : Tulisan ini diambil dari sumber Radar Malang Jawa Pos dan dilengkapi oleh saya sebagai pelaku perjalanan bersama wartawan Radar Malang
No comments:
Post a Comment