MANDALAY, kota-kota besar selain Yangon dan Nay Pyi Taw yakni Mandalay. Kota ini adalah ibukota terakhir Kerajaan Myanmar. Mandalay berada di tengah daratan Myanmar, saat ini merupakan kota kedua terbesar di Myanmar. Dari kota inilah biasanya orang menuju ke utara, selatan, barat atau ke timur negeri ini karena letaknya yang strategis.
Sebagai kota lama yang banyak menyimpan sejarah perkembangan negara Myanmar, tentu saja tidak akan aku lewatkan begitu saja. Ayo kita lihat ada apa di sana, cekidot ....
KENAPA KE MANDALAY
Pagi-pagi sekali sekitar pukul tujuh an, sehabis breakfast aku ke agen bus untuk cari informasi jadwal bus dari Bagan ke Mandalay. Jadwal bus hari ini berangkatnya mulai pukul 7, 8 dan 9 pagi. Akhirnya aku putuskan beli tiket yang berangkat pukul 9, harganya 7500 Ks. Otomatis rencana stay di Mya Kha Lar Guest House 'GH' aku batalkan tanpa pemberitahuan ke pihak GH. Biasanya hal seperti itu tidak menjadi masalah.
Aku segera balik ke Motel Eden untuk persiapan check out. Akhirnya mantap juga meninggalkan Bagan karena aku sudah cukup mengerti tentang Bagan. Bus yang aku tumpangi adalah bus yang biasa saja, bisa dibilang cuma bus 'bumel' atau ekonomi karena ditengah jalan sering menaikan dan menurunkan penumpang sesukanya. Aku belum tau persis, mungkin cuma ada bus semacam itu untuk ke Mandalay.
Perjalanan dengan bus banyak terjadi keunikan, misalnya bus masuk ke jalan tol. Tapi tol nya sangat berbeda dengan yang pernah aku lihat. Mungkin ini lebih cocok disebut by pass daripada jalan tol. Kondektur harus turun mengambil karcis di gerbang tol yang ada di sebelah kiri, sedang sopirnya ada di sebelah kanan. Petugas tol hanya pakai laptop untuk menginput data dan menge-print karcisnya. Jalur tol tidak ada pagarnya, siapa saja dan kendaraan apa saja bisa masuk.
Di dalam bus banyak penumpang yang muntah dan ada beberapa anak balita yang ngompol, 'airnya' mengalir ke mana-mana. Melihat keunikan ini saja, aku sudah terhibur. Sopir dan kondekturnya cuma pake sarung aja. Ketika bus berhenti untuk istirahat di rumah makan, penumpangnya buru-buru turun mencari tempat pipis di semak-semak bukan di toilet. Yang unik lagi ketika makan, pemilik rumah makan berteriak keras-keras tanpa henti menyebut pesanan tamunya kepada juru masaknya yang ada di belakang.
Kadang-kadang bus ngetem turunkan dan naikan penumpang, walau begitu tidak ada pedagang asongan yang naik ke atas bus. Aku beli kripik kentang yang kelihatannya enak, tapi setelah dimakan rasanya berbeda, kebanyakan minyak. Terpaksa aku tidak habiskan.
Bus melewati daerah yang ada masjid dan sekolah Muslimnya, Meikhtila namanya. Di sini, belum lama terjadi bentrokan berdarah antara dua umat beragama. Sampai-sampai Sekjen PBB turun tangan mengingatkan dan menyampaikan rasa prihatin atas kekerasan ini. Puluhan warga Muslim banyak yang meninggal dan harus mengungsi. Semoga ke depan semua bisa berjalan lebih baik. Semua orang tidak suka dengan kekerasan, mengapa ini harus terjadi ?
Akhirnya sekitar jam 4 sore, bus memasuki Terminal Mandalay yang keadaannya biasa saja. Aku pilih ojek menuju GH (2000 Ks). GH yang akan kutinggali adalah Royal GH. Tukang ojek banyak yang tau GH ini, karena cukup populer di kalangan turis. Ojek melewati depan Airport Mandalay dan terus menuju pusat kota. Sekitar 20 menitan aku tiba di Royal GH. Tempat tinggal sementaraku ini dekat dengan Mandalay Palace yang berada di tengah kota.
Inilah Mandalay yang sangat strategis posisinya, yang banyak menyimpan saksi sejarah perkembangan Myanmar yang hingga kini masih ada. Kesempatan ini tidak akan kulewatkan begitu saja.
EKSPLOR MANDALAY
Karena saat itu masih peak season, apalagi ada cabang olah raga Sea Games yakni sepak bola wanita digelar di Mandalay, aku dapat kamar agak mahal 17 US$ tapi memuaskan kondisinya. Wifi nya oke banget, banter. Aku bayar pake lembaran 20 US$ dan kembaliannya tiga lembar 1 dollaran.
Besoknya aku dapat kamar yang hanya 10 US$ saja. Malam itu juga aku mulai mengeksplor kota dengan berjalan kaki. Mampir ke Stasiun Kereta Api yang berada di pusat kota. Tampak dari luar seperti bukan stasiun, gedungnya mempunyai pilar yang tinggi seperti gedung pengadilan di tanah air. Stasiun berlantai dua ini cukup besar sebagai stasiun utama yang bisa menuju ke berbagai arah daratan Myanmar. Di sekitarnya terdapat beberapa hotel yang tingginya hingga 10 lantai.
Seperti di area publik yang lain, tulisan Burma sangat dominan di dalam stasiun ini. Sehingga 'tulisan cacing' seperti itu tidak bermakna buatku, hanya bagai lukisan aja. Aku bertemu dengan tukang ojek yang menurut feelingku cukup baik. Aku minta dia mengantarkanku ke GH tapi harus mampir dulu ke rumah makan halal untuk beli makanan yang bisa dibawa pulang. Dia menunjukkanku resto seperti cafe vegetarian yang kelihatan harganya mahal. Akhirnya aku memberitahu dia segera ke resto India yang pernah aku lihat sebelumnya. Pesen yang 1200 Ks sesuai yang ada di menu, malah ditambah dengan yang lain, harganya jadi 1800 Ks karena banyak aksesories tambahannya yang harus dibawa pulang. Ojek mengantarkanku sampai depan GH lalu kubayar 1000 ks.
Di waktu yang lain, ketika aku datangi beberapa kaum ibu yang berkerudung dan bertanya dimana kedai Muslim ? Dia hanya diam saja dan akhirnya bilang tidak tau. Ternyata, dia bukan Muslim. Mereka pake kerudung karena udara di Mandalay cukup dingin.
Mandalay sebagai kota kedua terbesar di Myanmar sangat berbeda dengan Yangon atau Nay Pyi Taw. Kota ini tentu lebih kecil dari Yangon dan banyak sepeda motornya. Karena banyaknya sepeda motor di kota ini, semua jalan jadi semrawut dan padat.
Di tengah kota, banyak mal yang bangunannya modern, hotel-hotel yang bagus dan rumah sakit yang cukup mentereng. Inilah Mandalay, perpaduan antara peninggalan masa lalu dan modernisasi.
Cara mudah mengeksplor Mandalay adalah memesan paket city tour yang berangkatnya dari GH. Misalnya, paket Mandalay City Tour yang harganya 12.000 Ks. Paket ini menyinggahi beberapa pagoda, Mandalay Palace dan mengunjungi pusat kerajinan tangan khas Mandalay seperti ukiran kayu, batu atau emas.
Ada lagi paket Around Mandalay Tour yang harganya lebih mahal, 18.000 Ks. Paket ini mengunjungi In-wa : peninggalan sejarah raja-raja termasuk seni dan arsitekturnya. Sangaing : sekitar 20 km barat daya Mandalay dekat Sungai Irrawady (Ayeyarwaddy), bekas peninggalan Dinasty Sangaing yang banyak pagoda dan arca-arcanya. Berikutnya adalah Amarapura : peninggalan Dinasty Konbaung, Jembatan kayu 'U Bein Bridge' yang dibangun oleh Mayor Inggeris 200 tahun yang lalu, home industri sutera dan hal yang menarik lainnya.
AMARAPURA
Habis sarapan aku mulai jelajah lagi. Keluarnya pagi-pagi seperti orang mau berangkat kerja. Tak terasa jalan kaki sudah melebihi stasiun kereta api. Sambil memperhatikan keberadaan bus kota di jalanan Mandalay, berikut jurusannya kemana aja. Belum sempat melihat ada atau tidak, aku dikejutkan oleh dua orang yang berboncengan sepeda motor mengambil 5 botol bensin eceran dari seorang ibu penjualnya. Kirain ia mau borong itu bensin karena mungkin di pom sudah kehabisan. Tapi ternyata ia menyita bensin tersebut dan mengoper ke temannya yang ada di atas truk penampung barang sitaan. Tentu saja aku sangat prihatin melihat kejadian ini sekaligus takjub melihat Si ibu yang hanya tersenyum dan pasrah barangnya disita sepeti itu. Petugas yang berpakaian preman memang sering merazia dan menyita bensin eceran yang dijual di pinggir jalan. Berjualan bensin eceran di tengah kota ini dilarang entah sejak kapan, aku tidak tau. Aku datangi ibu itu dan berusaha memberi senyuman kepadanya tanda aku ada di pihaknya. Aku bilang ok .. ok .. sikapku ini menjadi perhatian petugas yang menyaksikan dari kejauhan.
Masih berdiri di dekat si ibu, tiba-tiba ada sepeda motor yang menghampiriku dan bicara dengan bahasa Burma. Ternyata, dia itu tukang ojek dengan pakaiannya yang rapi dan berkaca mata gelap, cukup modis kelihatannya. Aku ajak dia berbincang duduk di trotoar dan menanyainya mau ga keliling Amarapura (pp). Tau aku dari Indonesia, dia mengaku seorang Muslim. Sebelum aku percaya dengan pengakuannya, aku sempat test kebenarannya dengan kunci-kunci tertentu. Tidak diragukan lagi, dia itu Muslim tulen. Walaupun dia tidak bisa bahasa Inggris, menurutku dia akan cukup membantu terutama untuk mencari makanan halal.
Ongkos ojek disepakati 7000 Ks (pp). Kami meluncur berdua sambil ngobrol menempuh perjalanan 11 km menuju Amarapura. Di tengah perjalanan, kadang-kadang kami menyanyikan lagu India. Kalau hati senang, jauhnya jarak terasa semakin dekat. Memasuki kawasan Amarapura auranya sudah berbeda, seperti memasuki gerbang kerajaan masa lalu. Mengitari jalan raya di pinggir danau yang luas dan memandang garis panjang yang membentang nun jauh di sana, itu ternyata jembatan kayu 'U Bein Bridge' yang panjangnya 1,2 km.
Aku lupa memberitau nama si tukang ojek ini, dialah Abdul Rasyid. Wajahnya ada sedikit ke-India-Indiaan. Bagaimana kalau aku tidur di rumahmu dan aku bayar sebagai ganti tidur di GH. Tidak bisa katanya. Memang betul orang Myanmar dilarang menerima tamu untuk menginap di rumah, apalagi dia turis. Kepada Rasyid kadang-kadang aku iseng ngomong Jawa sambil mengolok-ngoloknya. Dia hanya mengangguk iya iya saja, pake bahasa apapun aku ngomong, dia tetep nggak ngerti. Kasihan juga melihatnya.
Dia parkirin motornya, lalu bersamaku menuju jembatan kayu yang sudah berusia 200 tahun itu. Aku ke sini sengaja membawa 'longyi' ato sarung, setelah memakainya banyak orang yang memandangiku. Pasalnya mereka ragu, ini pasti bukan orang Myanmar, karena motif sarungnya berbeda dengan yang sering dipakai orang Myanmar.
- rasyid -
Jembatan kayu U Bein yang panjangnya 1,2 km berada di atas Danau Taungthaman menuju daratan di sebarangnya. Kualitas kayu pilihan terbaik dan tebal menjadi alasan mengapa jembatan ini masih bisa bertahan sampai saat ini. Sepertinya jembatan ini adalah yang terpanjang dan tertua di dunia. Jembatan yang mempunyai lebar sekitar 3 meteran dan tinggi sampai 5 meter menjadi magnet utama orang mengunjunginya. Kayu bulat utuh menjadi tiang-tiang penyangga jembatan ini yang ditancapkan ke dasar danau. U Bein sendiri adalah seorang Mayor warga negara Inggeris yang membangun jembatan ini 200 tahun lalu.
Semakin ke tengah semakin indah panoramanya. Hilir mudik perahu kecil melintasi danau membuat suasana lebih natural. Ditambah lagi banyaknya orang memancing berendam di danau dan melihat ratusan bebek berenang di situ menjadi semakin perfect pemandangannya. Tampak juga di kejauhan pagoda putih berdiri kokoh melengkapinya.
Pasangan muda mudi sangat senang dengan tempat ini untuk mengadu kasih, atau muda mudi yang datang dengan group-nya menambah ramai suasana jembatan Amarapura. Karena pemandangannya indah sekali, aku minta tolong Rasyid menjepretku dengan beberapa phose pilihan.
Rasanya sudah cukup kemari. Kenapa kok nggak ada restribusi masuk untuk turis ? Apa aku gratis lagi ? Sambil meninggalkan Jembatan U Bein, aku terus berpikir tentang hal itu. Rasyid kusuruh mencari resto halal, eh dia malah berhenti mampir membeli sirih. Dasar .... Akhirnya aku makan siang di resto dengan tanda 786, ini symbol olahan makanan halal di Myanmar. Kupesan nasi goreng vegetable Malay plus air mineral sebagai minumannya. Rasyid nggak mau makan walau kubilang aku yang akan bayar. Habisnya cukup mahal 3400 Ks.
Perjalanan pun dilanjutkan, kali ini melihat Clock Tower yang berada di tengah persimpangan antara 26 Street dengan 84 Street. Jelajah siang hari ini diakhiri ke Mandalay Palace dekat GH yang aku tinggali. Istana ini bekas kediaman Raja Mindon dan Raja Thibaw yang kemudian dihancurkan oleh pemboman sekutu. Istana ini dikelilingi oleh parit yang lebar dan benteng yang kuat mengitarinya. Mempunyai 5 jalan masuk untuk menyebrangi parit. Setelah hancur dibom sekutu, kemudian dibangun replikanya lengkap dengan museum di dalamnya.
Terima kasih Rasyid atas kebaikanmu dan mohon maaf aku telah meledekmu dengan bahasa Jawa. Aku pun sebenarnya tidak tau apa kamu juga telah meledekku dengan bahasa Myanmarmu yang tidak aku mengerti. Assalamu 'alaikum, aku masuk ke GH sambil bilang "Ongkos ojeknya sudah aku bayar ya waktu di rumah makan". Iya katanya.
SUNGAI IRRAWADY
Setelah istirahat siang. aku menuju ke pinggir parit Mandalay Palace untuk melihat-lihat pemandangan di sore hari. Di kawasan ini cukup nyaman untuk JJS atau jogging mengelilingi luar palace.
Di situ ada satu dua ojek yang sedang mangkal, aku bilang kepadanya mau ke Sungai Irrawady (Ayeyarwady) dan kami sepakat dengan ongkos 1000 Ks. Cukup dekat saja jaraknya dari Mandalay Palace ke Perkampungan pinggir Sungai Irrawady. Good time betul, ini pas saatnya matahari terbenam (sunset). Pemandangannya betul-betul sangat indah. Senja kemerahan menghiasi background perkampungan yang ada di pinggiran Sungai Irrawady yang panjangnya dua kali Pulau Jawa dan terbesar di Myanmar itu. Sungai ini sebagai urat nadi transportasi air dan sumber kehidupan penduduk Myanmar. Dan sungai ini mempunyai multi fungsi diantaranya untuk wisata turis mancanegara.
Tentu saja ini momen yang harus diabadikan sebaik-baiknya. Menyaksikan perahu-perahu motor nelayan melintasi Sungai Irrawady, sementara di belakangnya ada senja kemerahan yang sangat menakjubkan indahnya. Suatu pemandangan bak lukisan tapi nyata di depan mata. Apalagi aku ikut turun ke bawah tepian sungai berbincang dengan para nelayan yang hidup sederhana bersama perahu dan rakitnya menunggu air pasang untuk mencari ikan. Damai rasanya hidup bersamanya, jauh dari pikiran kotor apalagi niat untuk memakan uang negara (korupsi). Sebenarnya hidup seperti ini saja sudah nikmat, tidak neko-neko tapi tetap terhormat di hadapan manusia atau Yang Maha Kuasa.
Hari semakin gelap, aku kembali ke GH menyusuri pinggir sungai sembari mampir ke pasar ikan yang menampung dan menjual ikan hasil tangkapannya. Akhirnya ke GH aku sambung dengan ojek (1000 Ks).
Cukup sudah di Mandalay, aku nggak ada niat ke Inle Lake atau tempat yang lain. Paling-paling hanya iklan wisatanya aja yang menarik tapi sesungguhnya keindahannya masih jauh dengan alam di negeri sendiri.
Besok pagi ke Nay Pyi Taw akh.
NAY PYI TAW YANG KEJAM
Lagi-lagi pake ojek, kali ini untuk menuju ke Terminal Bus Mandalay (2500 Ks). Aku bilang mau ke Nay Pyi Taw 'NPT', tukang ojek langsung mengantarkanku ke agen bus yang melayani jurusan NPT. Tapi aku nggak mau nunggu lama di terminal, jadi aku cari bus yang akan segera berangkat. Kalau kita masuk ke terminal, banyak orang seperti penghubung yang menawarkan bus. Akhirnya aku diantar seorang penghubung (bukan calo) menuju bus yang segera berangkat, bahkan bus tersebut sudah mulai keluar dari parkirannya siap meluncur ke NPT.
Aku cepat-cepat ke agen, ambil tiket lalu bayar (6000 Ks). Alhamdulillah bus masih mau menungguku yang berangkat pukull 08.30, inilah bus yang selama ini aku dambakan 'Super VIP'. Kursinya 2 x 1, LCD, 30 seats, AC, air mineral, selimut, tisu basah dan pramugari. Bus-nya rekomenditlah. Apalagi bus ini melewati jalur tol yang benar-benar jalan tol bukan jalan tol seperti sebelumnya 'abal-abal'. Walau begitu tidak semua jalur tol ada pagarnya dan kalau ada penumpang mau turun, bisa saja dilayani sopir bus.
Bener-bener baru bisa menikmati yang namanya bus beneran. Perjalanan melewati tol sangat lancar, sempat tertidur dan tidak terasa sudah ada pengumuman dari pramugari, kita akan berhenti istirahat selama 30 menit di rumah makan yang oke banget. Selain sempatkan untuk ke kamar kecil, aku pesen secangkir coffe mix dan biskuit (500 Ks).
Bus siap meluncur lagi menghabiskan sisa perjalanannya menuju NPT. Pramugari mulai mendata penumpangnya nanti turun di mana, ini adalah servis pengantaran hanya untuk dalam kota saja. Aku bilang, turun di Terminal Bus NPT.
Sekitar pukul satu siang, bus masuk kota NPT. Terlihat dari dalam bus, kotanya bersih, jalannya lebar dan hampir semua gedungnya baru. Tertata baik tidak seperti Yangoon atau Mandalay. Iya memang, ini kota baru sebagai Ibukota Negara Myanmar. Tapi kok sepi sekali, mobil yang lalu lalang cuma sedikit sekali. Hotel-hotel saling berdekatan letaknya, belakangan baru tau kalau ini namanya 'Hotel Zone'. Ada juga penumpang yang turun di tengah jalan, entah mereka mau kemana.
Sampai di Terminal NPT, aku turun dan duduk di kursi terminal yang sangat berbeda dengan terminal yang aku pernah jumpai. Bertanya dengan tukang ojek di mana ada GH di sekitar sini ? mereka ga ada yang tau, kalau hotel dia tau. Aku nggak mau hotel karena pasti lebih mahal taripnya. Keputusan sementara, aku harus menunggu informasi yang pas dan harus mempelajari situasi dengan singkat lebih dulu.
Sudah satu jam di Terminal Bus tanpa ada keputusan harus kemana. Aku lihat banyak bus yang datang dan pergi di terminal ini, membawa para atlet Sea Games. Ada satu dua atlet dari Myanmar dan Malaysia yang aku ajak ngomong, sepintas mereka tidak ada masalah karena sudah punya akomodasi di NPT. Aku males kalo harus ngerepotin orang lain. Males aja rasanya ...
Kuputuskan bulat harus pake ojek lagi, mulanya ke GH yang katanya tukang ojek tau (3000 Ks). Sampai di sana, GH itu tidak bisa untuk orang asing. Si ojek nggak bisa bahasa Inggeris, lalu aku gambar di kertas dua garis lurus strip-strip dan ada keretanya (stasiun kereta api maksudnya). Aku bilang mau ke sini, sambil nunjuk ke kertas ini. Dia mengerti, lalu ojek jalan lagi melalui 'Sirkuit F1' maksudnya jalanan yang sangat lebar tapi nggak banyak kendaraan yang lewat situ. Di kiri kanannya pun tidak ada apa-apa kecuali kantor-kantor besar yang tidak kelihatan ada penghuninya. Ini kota apaan sih ? seperti kawasan industri aja. Sudah sejak tahun 2005 ibukota pindah dari Yangoon ke NPT. Ada terlintas di pikiranku, mungkin ini adalah proyek besar dan proyek bagi-bagi jatah. Mengapa banyak rumah pribadi yang mewah dan besar ? Besarnya hampir sama dengan kantor-kantor yang ada di situ.
Aku dan si ojek terus melaju kencang di tengah-tengah sirkuit entah ke arah mana tujuannya. Ransel berat masih ada di punggung membebaniku. Dinginnya tiupan angin dan udara NPT lumayan dingin terasa menusuk-nusuk tubuhku, sampai tangan dan bibirku putih bersisik menahan dingin. Sudah 30 menit di atas jalan raya, tiba-tiba dia menepikan motornya dan bilang sesuatu yang tidak aku mengerti maksudnya. Akhirnya dia lari sendiri mendekati tebing, dia mau buang air kecil karena kedinginan. Oooo ala ... ada ada aja.
Stress tentu ada, tapi kan aku bawa uang. Tidak perlu kuatir. Kalau bener-bener kritis terpaksa tidur di hotel walau taripnya mahal. Itu bukan solusi, itu langkah yang akan kuambil diakhir keputusasaan. Hhe ... Sampai juga di stasiun kereta api NPT. Oh ... sama aja kondisinya dengan di terminal bus tadi, yang ada cuma bangunan itu sendiri, di samping-sampingnya tidak ada bangunan sama sekali. Ini gimana sih kotanya ? nggak bersahabat dan nyusahin banget deh. Aku pilih terminal atau stasiun maksudnya paling tidak di deket-deket situ ada hotelnya. Ini bener-bener kejam, sama sekali nggak ada. Udahlah pokoknya aku mau istirahat dulu di stasiun. Ojek aku tanya berapa ongkosnya ? 7000 ks, katanya. Mau bilang apalagi harus dibayar. Akhirnya, aku nggak tawar keinginannya. Tapi aku buka dompetku dan memperlihatkan kepadanya, ni ambil semua (6500 Ks). Ya udah nggak apa-apa, katanya. Aku ucapkan terima kasih dan menepuk pundaknya tanda masih tetep bersahabat.
Mulanya orang-orang Myanmar di stasiun tidak tau kalau aku orang Indonesia, karena wajahnya hampir sama. Santai ... santai ... pasti ada jalan keluarnya. Sebagai orang yang sudah berumur 52 tahun, sedang berada di negeri orang, sendirian, negerinya juga negeri antah berantah, kondisi tanpa status harus bagaimana ... harus tetep menenangkan diri. Aku berjalan tenang menuju toko dalam stasiun membeli roti, kacang dan air mineral. Perbekalan uang aku keluarkan dari tas besar, untuk bayar supaya dapat kembalian uang yang lebih kecil. Cara tadi yang kupakai ke ojek cuma trik di lapangan aja biar win win. Si mbak penjual mamin bertanya kepadaku, tapi aku menjawab dengan isyarat tangan. Mungkin dia menganggap sedang berhadapan dengan orang Myanmar yang bisu. Akhirnya aku nggak tahan juga, Can you speak English ? ya English, tanyaku. Dia menggelengkan kepalanya, tanda nggak ngerti. Waduh Myanmar ini ... aku ini turis, masa nggak ada orang yang bisa melayani tamu di negaramu. Turis ?
Coba duduk tenang di ruang tunggu stasiun sambil makan roti. Kini giliran coba makan kacang shanghai, aduh ... ada masalah lagi, kacangnya keras seperti batu. Aku tetap coba menggigit dan menunggu mana yang hancur kacangnya atau gigiku.
Sambil memperhatikan kiri dan kanan dengan smooth, kelihatannya ada titik terang. Aku lihat ada seorang bapak yang pakai kalung dan ID card Sea Games sebagai divisi transportasi (antar jemput atlet). Aku bertanya kepadanya, apa ada GH sekitar sini ? Dia malah bingung karena aku nanyanya pake bahasa Inggeris. Karena bingung, ia memanggil orang Myanmar lainnya. Kedok terbuka sudah, yang semula semua orang di stasiun tidak tau aku ini orang Indonesia. Sekarang, semua jadi tau. Aku dikelilingi banyak orang, karena ada turis yang wajahnya sama dengan wajah mereka. Konyol ... Aku bilang terus terang, aku ini dari Indonesia mau lihat Sea Games, tapi di sini mengapa tidak ada hotel untuk turis seperti aku ? Suasana tambah ramai, sampai-sampai ada tentara yang sedang berjaga dengan senjata laras panjang ikut menghampiriku. Tambah gawat, untung saja ada satu orang yang bisa bahasa Inggeris dan menerangkan maksudku kepada orang-orang di situ dengan bahasa Myanmar.
Kemudian ada tukang ojek yang tau letak GH dan sepakat dengan ongkosnya untuk mengantarkanku. Orang-orang pun mulai membubarkan diri. Setiap aku bicara kepada Si ojek, dia hanya jawab "Yes .. Yes .." saja. Wah tambah parah nih. Perjalanan yang hampir sama dengan ojek yang pertama, terjadi lagi. GH yang dia tau sudah ketemu setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam. Aku senang luar biasa, dari luar memang benar tulisannya GH. Tapi apa yang terjadi, GH tidak untuk orang asing. Malah yang ini GH untuk internal perusahaan. Lemes sudah, dari jam satu sampai jam lima belum dapat hasil apa-apa. Ok ok begini, aku bayar dulu ojekmu 3000 Ks, kemudian kita mulai lagi dengan ongkos yang baru. Ia setuju membantuku mencari yang lain, kali ini arahnya menurut feelingku dan tujuannya aku yang menentukan bukan dia. Hasilnya tetep nihil.
Sedikit ada kepanikan, yang tadinya berpikiran jernih menjadi sedikit curiga. Apa aku sedang dikerjain ? Akhirnya aku ketemu rombongan ibu-ibu yang sedang berjalan di trotoar, kelihatannya 'terpelajar'. Si ojek bertanya kepada mereka dan aku mengutarakan dalam bahasa Inggeris yang saling dimengerti oleh kami semua. Aku bilang kalo aku sudah habis uang banyak untuk cari GH tapi nggak dapet-dapet di NPT. Untuk bayar ojek aja sudah berapa ? Kataku. Akhirnya Si ojek dinasehati oleh mereka, jangan membohongi turis. Kamu harus takut sama Budha. "Saya tidak bohong". Kata Si ojek. Ini saya baru dikasih uang segini, sambil menunjukkan uang yang telah ia terima sebelumnya. Memang Si ojek ini orang desa yang polos sekali, semula ingin menolongku sebagai turis cari GH. Tapi situasinya jadi berubah tidak sesuai harapannya, karena tidak ketemu GH. Akhirnya aku disarankan cari hotel di pinggiran kota NPT, yang jaraknya sekitar 25 km di luar NPT.
Tambahan ongkos sudah disepakati bersama. Meluncur lagi ke pinggiran ibukota negara yang namanya Pyinmana. Bokongku sudah kepanasan, dari tadi dibonceng motor terus menerus. Menuju Pyinmana terasa lama sekali seakan tidak ada ujungnya, tidak terlihat ada satu pun GH atau hotel di sepanjang jalan di Pyinmana. Aku menegur Si ojek dengan nada yang agak keras. Ini mau ke mana ? kok nggak sampe-sampe. "Ini mau ke terminal, Bapak kan mau ke Yangoon kalau tidak dapat GH". Jawabnya. Itulah jawaban Si ojek yang aku terjemahkan dalam hatiku. Percuma aku marah, karena aku bicara apapun dia tetep nggak ngerti. Aku menyadari hal tersebut dan tetep harus cooling down.
Tidak lama berselang, kami bener-bener sampai di Terminal Bus Pyinmana. Aku sedikit lega dan bersama Si ojek mulai bertanya dimana bus jurusan Yangon. Tapi Allah punya rencana lain, aku tiba-tiba kebelet pipis. Tanya dimana letak toilet, mereka hanya menunjuk jauh. Akhirnya toilet ketemu juga yang letaknya jauh di belakang sana, itupun ke sana pake motor.
Terminal Bus NPT
Di sinilah terjadi kejutan, habis keluar dari toilet sudah ada orang lain yang sedang bicara dengan Si ojek. Ayo berangkat, kataku. Bersiap untuk beli tiket bus ke Yangoon. Tapi orang tadi mengajak aku bicara dan menebak kalau aku seorang Muslim. Iya, aku Muslim. "Saya juga Muslim". Katanya. English ? aku bertanya sambil memutar tanganku di depan mulutku. Dia menggelengkan kepala, tanda nggak bisa English. Tetep aja ini masalah, pikirku. Tiba-tiba dia berucap satu kata dalam bahasa Arab. Akupun menanggapinya dengan bahasa Arab. Selanjutnya saling berbalas pantun dengan Arabic. Selanjutnya kami berdua berkomunikasi sebisanya dengan Arabic.
Diputuskan, aku ikut dengan teman yang baru kukenal ini dan menyudahi kebersamaanku dengan Si ojek sebelumnya. Aku bayar Si ojek dengan ongkos yang cukup, bilang terima kasih dalam bahasa Burma 'Je zu ba de mali' dan memeluknya tanda semua tidak ada masalah. Ia pun tersenyum, mungkin dibenaknya berkata : "Ingin membantu, tapi kondisinya yang tidak memungkinkan". GH tidak ada dan faktor bahasa yang nggak pernah nyambung.
Aku mulai mencari GH bersama Ismail, kenalan baruku di Pyinmana. Komunikasi dengan Arabic lebih nyambung dan saling mengerti. Dia bukan ojek, tapi entah kenapa tadi ada di terminal dengan motornya. GH pertama didapat, tapi aneh bener bukan untuk orang asing. Begitu juga dengan GH yang kedua. Ismail pun kelihatan agak kecewa tidak bisa membantuku. Aku bisikkan dia, tolong bilang ke petugas GH kalo kita ini sama-sama negara ASEAN. Petugas bilang peraturannya sudah begitu, GH ini cuma khusus untuk local people.
Kata Ismail, masih ada satu kesempatan lagi. Ayo kita cari. Di atas motor aku bicara tentang Rohingya. "Ssst ... jangan bilang itu di sini atau di tempat umum, ini sangat sensitif". Katanya mengingatkanku. Ok ok aku mengerti. Tiba di satu hotel, dengan harapan semoga bisa menerimaku. Resepsionis bilang kamar ada, harganya 100 US$. Saat ini sudah pukul 8.30 malam. Jadi kalo aku ambil kamar ini, berarti bayar 1,2 juta hanya untuk istirahat sampai pukul 12 siang esok hari. Oh ... aku tidak rela. Aku bilang pada resepsionis, ok aku pikir dulu ya dan berlalu sambil meminta kartu nama hotel. Edan betul, di pinggiran kota NPT aja 100 US$ rate-nya, apalagi di NPT.
Aku bilang sama Ismail, aku harus ke Yangoon malam ini dengan bus, tapi cari makan halal dulu ya. Ismail mengantarkanku ke kedai halal milik keluarganya. Kontan saja, baru sesaat ada di situ, sudah banyak orang berdatangan melihatku. Ada perempuan, ada laki-laki dan anak-anak, semua menonton aku. Bahkan ada seorang yang mengetes detail tentang ke-Islaman-ku. Ada ada saja. Walau dalam keadaan susah, aku tetap tersenyum menerima keadaan ini. Aku pesen makanan dan kopi panas di situ. Semua dihidangkan di meja pendek, tapi Ismail nggak mau makan. Aku makan dengan lahap dan tambah beberapa kali, maklum belum makan sejak pagi tadi. Semua aku bayar hanya 1000 Ks saja.
Aku abadikan momen ini dengan kamera HP-ku, lalu sera merta memberikan sepatu, sendal dan nescafe yang aku bawa dari tanah air untuk dibagikan pada mereka. Aku mengeluarkan sarung dari ranselku dan memakainya dengan cara Indonesia. Mereka semua tertawa melihat tingkahku, dan aku bilang yang ini jangan diminta ya, masih aku pake. Dengan berat hati aku harus berpisah dengan saudara Muslim di Pyinmana. Aku berdoa untuk mereka dan berpisah sambil berpelukan. Assalamu 'alaikum. Kataku, sambil berlalu dengan motor Ismail.
Tak lama, kami tiba di Terminal Bus Pyinmana dan Ismail menunjukkanku agen bus ke Yangoon. Dapat tiket (5000 Ks) yang berangkat pukul 21.30, berarti 15 menit lagi aku akan meninggalkan masalah yang tidak berujung ini. Aku selipkan selembar uang 5000 Ks (60 ribu rupiah) ke saku Ismail dan berterima kasih sambil berangkulan. Ismail sempat menyampaikan kepadaku, "Kami di sini ini miskin, tapi kami tidak minta apa-apa kecuali doa". Aku hanya tertunduk dan berusaha menghiburnya.
Sampai di Mingalar Highway Bus Terminal Yangoon pukul tiga dini hari, aku menunggu sampai ada bus kota pertama yang menuju Sule Pagoda. Alhamdulillah masih diberi kelancaran dan keselamatan oleh Allah SWT.
Penasaran dengan NPT, selang beberapa hari aku kesana lagi dengan Bus Elite yang ok punya (7000 Ks). Pagi nyampe malamnya balik lagi ke Yangoon, ga perlu nginep di NPT.
KEMBALI KE NGALAM
Ini malam terakhirku di Myanmar, aku harus pergunakan waktu sebaik-baiknya. Mampir ke kedai India yang menjual roti capati dan soup syurba, lalu pesan dibungkus untuk Jamaah Masjid Sunni Bengali. Selepas Shalat Isya, aku pamitan dengan Jamaah di Masjid Sunni sambil memberi bungkusan yang aku bawa. Aku bilang, besok pagi aku harus kembali ke tanah air. Kami saling berangkulan dan air mata pun tidak bisa kubendung yang keluar dengan sendirinya. Assalamu 'alaikum ....
Esoknya terbang ke tanah air via Kualalumpur menuju Surabaya dan Malang, dengan membawa sejuta kenangan dan pengalaman berharga dari Golden Land, Myanmar.
Sebagai kota lama yang banyak menyimpan sejarah perkembangan negara Myanmar, tentu saja tidak akan aku lewatkan begitu saja. Ayo kita lihat ada apa di sana, cekidot ....
KENAPA KE MANDALAY
Pagi-pagi sekali sekitar pukul tujuh an, sehabis breakfast aku ke agen bus untuk cari informasi jadwal bus dari Bagan ke Mandalay. Jadwal bus hari ini berangkatnya mulai pukul 7, 8 dan 9 pagi. Akhirnya aku putuskan beli tiket yang berangkat pukul 9, harganya 7500 Ks. Otomatis rencana stay di Mya Kha Lar Guest House 'GH' aku batalkan tanpa pemberitahuan ke pihak GH. Biasanya hal seperti itu tidak menjadi masalah.
Aku segera balik ke Motel Eden untuk persiapan check out. Akhirnya mantap juga meninggalkan Bagan karena aku sudah cukup mengerti tentang Bagan. Bus yang aku tumpangi adalah bus yang biasa saja, bisa dibilang cuma bus 'bumel' atau ekonomi karena ditengah jalan sering menaikan dan menurunkan penumpang sesukanya. Aku belum tau persis, mungkin cuma ada bus semacam itu untuk ke Mandalay.
Perjalanan dengan bus banyak terjadi keunikan, misalnya bus masuk ke jalan tol. Tapi tol nya sangat berbeda dengan yang pernah aku lihat. Mungkin ini lebih cocok disebut by pass daripada jalan tol. Kondektur harus turun mengambil karcis di gerbang tol yang ada di sebelah kiri, sedang sopirnya ada di sebelah kanan. Petugas tol hanya pakai laptop untuk menginput data dan menge-print karcisnya. Jalur tol tidak ada pagarnya, siapa saja dan kendaraan apa saja bisa masuk.
Di dalam bus banyak penumpang yang muntah dan ada beberapa anak balita yang ngompol, 'airnya' mengalir ke mana-mana. Melihat keunikan ini saja, aku sudah terhibur. Sopir dan kondekturnya cuma pake sarung aja. Ketika bus berhenti untuk istirahat di rumah makan, penumpangnya buru-buru turun mencari tempat pipis di semak-semak bukan di toilet. Yang unik lagi ketika makan, pemilik rumah makan berteriak keras-keras tanpa henti menyebut pesanan tamunya kepada juru masaknya yang ada di belakang.
Kadang-kadang bus ngetem turunkan dan naikan penumpang, walau begitu tidak ada pedagang asongan yang naik ke atas bus. Aku beli kripik kentang yang kelihatannya enak, tapi setelah dimakan rasanya berbeda, kebanyakan minyak. Terpaksa aku tidak habiskan.
Bus melewati daerah yang ada masjid dan sekolah Muslimnya, Meikhtila namanya. Di sini, belum lama terjadi bentrokan berdarah antara dua umat beragama. Sampai-sampai Sekjen PBB turun tangan mengingatkan dan menyampaikan rasa prihatin atas kekerasan ini. Puluhan warga Muslim banyak yang meninggal dan harus mengungsi. Semoga ke depan semua bisa berjalan lebih baik. Semua orang tidak suka dengan kekerasan, mengapa ini harus terjadi ?
Akhirnya sekitar jam 4 sore, bus memasuki Terminal Mandalay yang keadaannya biasa saja. Aku pilih ojek menuju GH (2000 Ks). GH yang akan kutinggali adalah Royal GH. Tukang ojek banyak yang tau GH ini, karena cukup populer di kalangan turis. Ojek melewati depan Airport Mandalay dan terus menuju pusat kota. Sekitar 20 menitan aku tiba di Royal GH. Tempat tinggal sementaraku ini dekat dengan Mandalay Palace yang berada di tengah kota.
Inilah Mandalay yang sangat strategis posisinya, yang banyak menyimpan saksi sejarah perkembangan Myanmar yang hingga kini masih ada. Kesempatan ini tidak akan kulewatkan begitu saja.
EKSPLOR MANDALAY
Karena saat itu masih peak season, apalagi ada cabang olah raga Sea Games yakni sepak bola wanita digelar di Mandalay, aku dapat kamar agak mahal 17 US$ tapi memuaskan kondisinya. Wifi nya oke banget, banter. Aku bayar pake lembaran 20 US$ dan kembaliannya tiga lembar 1 dollaran.
Besoknya aku dapat kamar yang hanya 10 US$ saja. Malam itu juga aku mulai mengeksplor kota dengan berjalan kaki. Mampir ke Stasiun Kereta Api yang berada di pusat kota. Tampak dari luar seperti bukan stasiun, gedungnya mempunyai pilar yang tinggi seperti gedung pengadilan di tanah air. Stasiun berlantai dua ini cukup besar sebagai stasiun utama yang bisa menuju ke berbagai arah daratan Myanmar. Di sekitarnya terdapat beberapa hotel yang tingginya hingga 10 lantai.
Seperti di area publik yang lain, tulisan Burma sangat dominan di dalam stasiun ini. Sehingga 'tulisan cacing' seperti itu tidak bermakna buatku, hanya bagai lukisan aja. Aku bertemu dengan tukang ojek yang menurut feelingku cukup baik. Aku minta dia mengantarkanku ke GH tapi harus mampir dulu ke rumah makan halal untuk beli makanan yang bisa dibawa pulang. Dia menunjukkanku resto seperti cafe vegetarian yang kelihatan harganya mahal. Akhirnya aku memberitahu dia segera ke resto India yang pernah aku lihat sebelumnya. Pesen yang 1200 Ks sesuai yang ada di menu, malah ditambah dengan yang lain, harganya jadi 1800 Ks karena banyak aksesories tambahannya yang harus dibawa pulang. Ojek mengantarkanku sampai depan GH lalu kubayar 1000 ks.
Di waktu yang lain, ketika aku datangi beberapa kaum ibu yang berkerudung dan bertanya dimana kedai Muslim ? Dia hanya diam saja dan akhirnya bilang tidak tau. Ternyata, dia bukan Muslim. Mereka pake kerudung karena udara di Mandalay cukup dingin.
Mandalay sebagai kota kedua terbesar di Myanmar sangat berbeda dengan Yangon atau Nay Pyi Taw. Kota ini tentu lebih kecil dari Yangon dan banyak sepeda motornya. Karena banyaknya sepeda motor di kota ini, semua jalan jadi semrawut dan padat.
Cara mudah mengeksplor Mandalay adalah memesan paket city tour yang berangkatnya dari GH. Misalnya, paket Mandalay City Tour yang harganya 12.000 Ks. Paket ini menyinggahi beberapa pagoda, Mandalay Palace dan mengunjungi pusat kerajinan tangan khas Mandalay seperti ukiran kayu, batu atau emas.
Ada lagi paket Around Mandalay Tour yang harganya lebih mahal, 18.000 Ks. Paket ini mengunjungi In-wa : peninggalan sejarah raja-raja termasuk seni dan arsitekturnya. Sangaing : sekitar 20 km barat daya Mandalay dekat Sungai Irrawady (Ayeyarwaddy), bekas peninggalan Dinasty Sangaing yang banyak pagoda dan arca-arcanya. Berikutnya adalah Amarapura : peninggalan Dinasty Konbaung, Jembatan kayu 'U Bein Bridge' yang dibangun oleh Mayor Inggeris 200 tahun yang lalu, home industri sutera dan hal yang menarik lainnya.
AMARAPURA
Habis sarapan aku mulai jelajah lagi. Keluarnya pagi-pagi seperti orang mau berangkat kerja. Tak terasa jalan kaki sudah melebihi stasiun kereta api. Sambil memperhatikan keberadaan bus kota di jalanan Mandalay, berikut jurusannya kemana aja. Belum sempat melihat ada atau tidak, aku dikejutkan oleh dua orang yang berboncengan sepeda motor mengambil 5 botol bensin eceran dari seorang ibu penjualnya. Kirain ia mau borong itu bensin karena mungkin di pom sudah kehabisan. Tapi ternyata ia menyita bensin tersebut dan mengoper ke temannya yang ada di atas truk penampung barang sitaan. Tentu saja aku sangat prihatin melihat kejadian ini sekaligus takjub melihat Si ibu yang hanya tersenyum dan pasrah barangnya disita sepeti itu. Petugas yang berpakaian preman memang sering merazia dan menyita bensin eceran yang dijual di pinggir jalan. Berjualan bensin eceran di tengah kota ini dilarang entah sejak kapan, aku tidak tau. Aku datangi ibu itu dan berusaha memberi senyuman kepadanya tanda aku ada di pihaknya. Aku bilang ok .. ok .. sikapku ini menjadi perhatian petugas yang menyaksikan dari kejauhan.
Masih berdiri di dekat si ibu, tiba-tiba ada sepeda motor yang menghampiriku dan bicara dengan bahasa Burma. Ternyata, dia itu tukang ojek dengan pakaiannya yang rapi dan berkaca mata gelap, cukup modis kelihatannya. Aku ajak dia berbincang duduk di trotoar dan menanyainya mau ga keliling Amarapura (pp). Tau aku dari Indonesia, dia mengaku seorang Muslim. Sebelum aku percaya dengan pengakuannya, aku sempat test kebenarannya dengan kunci-kunci tertentu. Tidak diragukan lagi, dia itu Muslim tulen. Walaupun dia tidak bisa bahasa Inggris, menurutku dia akan cukup membantu terutama untuk mencari makanan halal.
Ongkos ojek disepakati 7000 Ks (pp). Kami meluncur berdua sambil ngobrol menempuh perjalanan 11 km menuju Amarapura. Di tengah perjalanan, kadang-kadang kami menyanyikan lagu India. Kalau hati senang, jauhnya jarak terasa semakin dekat. Memasuki kawasan Amarapura auranya sudah berbeda, seperti memasuki gerbang kerajaan masa lalu. Mengitari jalan raya di pinggir danau yang luas dan memandang garis panjang yang membentang nun jauh di sana, itu ternyata jembatan kayu 'U Bein Bridge' yang panjangnya 1,2 km.
Aku lupa memberitau nama si tukang ojek ini, dialah Abdul Rasyid. Wajahnya ada sedikit ke-India-Indiaan. Bagaimana kalau aku tidur di rumahmu dan aku bayar sebagai ganti tidur di GH. Tidak bisa katanya. Memang betul orang Myanmar dilarang menerima tamu untuk menginap di rumah, apalagi dia turis. Kepada Rasyid kadang-kadang aku iseng ngomong Jawa sambil mengolok-ngoloknya. Dia hanya mengangguk iya iya saja, pake bahasa apapun aku ngomong, dia tetep nggak ngerti. Kasihan juga melihatnya.
- rasyid -
Jembatan kayu U Bein yang panjangnya 1,2 km berada di atas Danau Taungthaman menuju daratan di sebarangnya. Kualitas kayu pilihan terbaik dan tebal menjadi alasan mengapa jembatan ini masih bisa bertahan sampai saat ini. Sepertinya jembatan ini adalah yang terpanjang dan tertua di dunia. Jembatan yang mempunyai lebar sekitar 3 meteran dan tinggi sampai 5 meter menjadi magnet utama orang mengunjunginya. Kayu bulat utuh menjadi tiang-tiang penyangga jembatan ini yang ditancapkan ke dasar danau. U Bein sendiri adalah seorang Mayor warga negara Inggeris yang membangun jembatan ini 200 tahun lalu.
Semakin ke tengah semakin indah panoramanya. Hilir mudik perahu kecil melintasi danau membuat suasana lebih natural. Ditambah lagi banyaknya orang memancing berendam di danau dan melihat ratusan bebek berenang di situ menjadi semakin perfect pemandangannya. Tampak juga di kejauhan pagoda putih berdiri kokoh melengkapinya.
Pasangan muda mudi sangat senang dengan tempat ini untuk mengadu kasih, atau muda mudi yang datang dengan group-nya menambah ramai suasana jembatan Amarapura. Karena pemandangannya indah sekali, aku minta tolong Rasyid menjepretku dengan beberapa phose pilihan.
Rasanya sudah cukup kemari. Kenapa kok nggak ada restribusi masuk untuk turis ? Apa aku gratis lagi ? Sambil meninggalkan Jembatan U Bein, aku terus berpikir tentang hal itu. Rasyid kusuruh mencari resto halal, eh dia malah berhenti mampir membeli sirih. Dasar .... Akhirnya aku makan siang di resto dengan tanda 786, ini symbol olahan makanan halal di Myanmar. Kupesan nasi goreng vegetable Malay plus air mineral sebagai minumannya. Rasyid nggak mau makan walau kubilang aku yang akan bayar. Habisnya cukup mahal 3400 Ks.
Perjalanan pun dilanjutkan, kali ini melihat Clock Tower yang berada di tengah persimpangan antara 26 Street dengan 84 Street. Jelajah siang hari ini diakhiri ke Mandalay Palace dekat GH yang aku tinggali. Istana ini bekas kediaman Raja Mindon dan Raja Thibaw yang kemudian dihancurkan oleh pemboman sekutu. Istana ini dikelilingi oleh parit yang lebar dan benteng yang kuat mengitarinya. Mempunyai 5 jalan masuk untuk menyebrangi parit. Setelah hancur dibom sekutu, kemudian dibangun replikanya lengkap dengan museum di dalamnya.
Terima kasih Rasyid atas kebaikanmu dan mohon maaf aku telah meledekmu dengan bahasa Jawa. Aku pun sebenarnya tidak tau apa kamu juga telah meledekku dengan bahasa Myanmarmu yang tidak aku mengerti. Assalamu 'alaikum, aku masuk ke GH sambil bilang "Ongkos ojeknya sudah aku bayar ya waktu di rumah makan". Iya katanya.
SUNGAI IRRAWADY
Setelah istirahat siang. aku menuju ke pinggir parit Mandalay Palace untuk melihat-lihat pemandangan di sore hari. Di kawasan ini cukup nyaman untuk JJS atau jogging mengelilingi luar palace.
Di situ ada satu dua ojek yang sedang mangkal, aku bilang kepadanya mau ke Sungai Irrawady (Ayeyarwady) dan kami sepakat dengan ongkos 1000 Ks. Cukup dekat saja jaraknya dari Mandalay Palace ke Perkampungan pinggir Sungai Irrawady. Good time betul, ini pas saatnya matahari terbenam (sunset). Pemandangannya betul-betul sangat indah. Senja kemerahan menghiasi background perkampungan yang ada di pinggiran Sungai Irrawady yang panjangnya dua kali Pulau Jawa dan terbesar di Myanmar itu. Sungai ini sebagai urat nadi transportasi air dan sumber kehidupan penduduk Myanmar. Dan sungai ini mempunyai multi fungsi diantaranya untuk wisata turis mancanegara.
Tentu saja ini momen yang harus diabadikan sebaik-baiknya. Menyaksikan perahu-perahu motor nelayan melintasi Sungai Irrawady, sementara di belakangnya ada senja kemerahan yang sangat menakjubkan indahnya. Suatu pemandangan bak lukisan tapi nyata di depan mata. Apalagi aku ikut turun ke bawah tepian sungai berbincang dengan para nelayan yang hidup sederhana bersama perahu dan rakitnya menunggu air pasang untuk mencari ikan. Damai rasanya hidup bersamanya, jauh dari pikiran kotor apalagi niat untuk memakan uang negara (korupsi). Sebenarnya hidup seperti ini saja sudah nikmat, tidak neko-neko tapi tetap terhormat di hadapan manusia atau Yang Maha Kuasa.
Hari semakin gelap, aku kembali ke GH menyusuri pinggir sungai sembari mampir ke pasar ikan yang menampung dan menjual ikan hasil tangkapannya. Akhirnya ke GH aku sambung dengan ojek (1000 Ks).
Cukup sudah di Mandalay, aku nggak ada niat ke Inle Lake atau tempat yang lain. Paling-paling hanya iklan wisatanya aja yang menarik tapi sesungguhnya keindahannya masih jauh dengan alam di negeri sendiri.
Besok pagi ke Nay Pyi Taw akh.
NAY PYI TAW YANG KEJAM
Lagi-lagi pake ojek, kali ini untuk menuju ke Terminal Bus Mandalay (2500 Ks). Aku bilang mau ke Nay Pyi Taw 'NPT', tukang ojek langsung mengantarkanku ke agen bus yang melayani jurusan NPT. Tapi aku nggak mau nunggu lama di terminal, jadi aku cari bus yang akan segera berangkat. Kalau kita masuk ke terminal, banyak orang seperti penghubung yang menawarkan bus. Akhirnya aku diantar seorang penghubung (bukan calo) menuju bus yang segera berangkat, bahkan bus tersebut sudah mulai keluar dari parkirannya siap meluncur ke NPT.
Aku cepat-cepat ke agen, ambil tiket lalu bayar (6000 Ks). Alhamdulillah bus masih mau menungguku yang berangkat pukull 08.30, inilah bus yang selama ini aku dambakan 'Super VIP'. Kursinya 2 x 1, LCD, 30 seats, AC, air mineral, selimut, tisu basah dan pramugari. Bus-nya rekomenditlah. Apalagi bus ini melewati jalur tol yang benar-benar jalan tol bukan jalan tol seperti sebelumnya 'abal-abal'. Walau begitu tidak semua jalur tol ada pagarnya dan kalau ada penumpang mau turun, bisa saja dilayani sopir bus.
Bener-bener baru bisa menikmati yang namanya bus beneran. Perjalanan melewati tol sangat lancar, sempat tertidur dan tidak terasa sudah ada pengumuman dari pramugari, kita akan berhenti istirahat selama 30 menit di rumah makan yang oke banget. Selain sempatkan untuk ke kamar kecil, aku pesen secangkir coffe mix dan biskuit (500 Ks).
Bus siap meluncur lagi menghabiskan sisa perjalanannya menuju NPT. Pramugari mulai mendata penumpangnya nanti turun di mana, ini adalah servis pengantaran hanya untuk dalam kota saja. Aku bilang, turun di Terminal Bus NPT.
Sekitar pukul satu siang, bus masuk kota NPT. Terlihat dari dalam bus, kotanya bersih, jalannya lebar dan hampir semua gedungnya baru. Tertata baik tidak seperti Yangoon atau Mandalay. Iya memang, ini kota baru sebagai Ibukota Negara Myanmar. Tapi kok sepi sekali, mobil yang lalu lalang cuma sedikit sekali. Hotel-hotel saling berdekatan letaknya, belakangan baru tau kalau ini namanya 'Hotel Zone'. Ada juga penumpang yang turun di tengah jalan, entah mereka mau kemana.
Sampai di Terminal NPT, aku turun dan duduk di kursi terminal yang sangat berbeda dengan terminal yang aku pernah jumpai. Bertanya dengan tukang ojek di mana ada GH di sekitar sini ? mereka ga ada yang tau, kalau hotel dia tau. Aku nggak mau hotel karena pasti lebih mahal taripnya. Keputusan sementara, aku harus menunggu informasi yang pas dan harus mempelajari situasi dengan singkat lebih dulu.
Train Station of Nay Pyi Taw |
Sudah satu jam di Terminal Bus tanpa ada keputusan harus kemana. Aku lihat banyak bus yang datang dan pergi di terminal ini, membawa para atlet Sea Games. Ada satu dua atlet dari Myanmar dan Malaysia yang aku ajak ngomong, sepintas mereka tidak ada masalah karena sudah punya akomodasi di NPT. Aku males kalo harus ngerepotin orang lain. Males aja rasanya ...
Kuputuskan bulat harus pake ojek lagi, mulanya ke GH yang katanya tukang ojek tau (3000 Ks). Sampai di sana, GH itu tidak bisa untuk orang asing. Si ojek nggak bisa bahasa Inggeris, lalu aku gambar di kertas dua garis lurus strip-strip dan ada keretanya (stasiun kereta api maksudnya). Aku bilang mau ke sini, sambil nunjuk ke kertas ini. Dia mengerti, lalu ojek jalan lagi melalui 'Sirkuit F1' maksudnya jalanan yang sangat lebar tapi nggak banyak kendaraan yang lewat situ. Di kiri kanannya pun tidak ada apa-apa kecuali kantor-kantor besar yang tidak kelihatan ada penghuninya. Ini kota apaan sih ? seperti kawasan industri aja. Sudah sejak tahun 2005 ibukota pindah dari Yangoon ke NPT. Ada terlintas di pikiranku, mungkin ini adalah proyek besar dan proyek bagi-bagi jatah. Mengapa banyak rumah pribadi yang mewah dan besar ? Besarnya hampir sama dengan kantor-kantor yang ada di situ.
Aku dan si ojek terus melaju kencang di tengah-tengah sirkuit entah ke arah mana tujuannya. Ransel berat masih ada di punggung membebaniku. Dinginnya tiupan angin dan udara NPT lumayan dingin terasa menusuk-nusuk tubuhku, sampai tangan dan bibirku putih bersisik menahan dingin. Sudah 30 menit di atas jalan raya, tiba-tiba dia menepikan motornya dan bilang sesuatu yang tidak aku mengerti maksudnya. Akhirnya dia lari sendiri mendekati tebing, dia mau buang air kecil karena kedinginan. Oooo ala ... ada ada aja.
Stress tentu ada, tapi kan aku bawa uang. Tidak perlu kuatir. Kalau bener-bener kritis terpaksa tidur di hotel walau taripnya mahal. Itu bukan solusi, itu langkah yang akan kuambil diakhir keputusasaan. Hhe ... Sampai juga di stasiun kereta api NPT. Oh ... sama aja kondisinya dengan di terminal bus tadi, yang ada cuma bangunan itu sendiri, di samping-sampingnya tidak ada bangunan sama sekali. Ini gimana sih kotanya ? nggak bersahabat dan nyusahin banget deh. Aku pilih terminal atau stasiun maksudnya paling tidak di deket-deket situ ada hotelnya. Ini bener-bener kejam, sama sekali nggak ada. Udahlah pokoknya aku mau istirahat dulu di stasiun. Ojek aku tanya berapa ongkosnya ? 7000 ks, katanya. Mau bilang apalagi harus dibayar. Akhirnya, aku nggak tawar keinginannya. Tapi aku buka dompetku dan memperlihatkan kepadanya, ni ambil semua (6500 Ks). Ya udah nggak apa-apa, katanya. Aku ucapkan terima kasih dan menepuk pundaknya tanda masih tetep bersahabat.
Mulanya orang-orang Myanmar di stasiun tidak tau kalau aku orang Indonesia, karena wajahnya hampir sama. Santai ... santai ... pasti ada jalan keluarnya. Sebagai orang yang sudah berumur 52 tahun, sedang berada di negeri orang, sendirian, negerinya juga negeri antah berantah, kondisi tanpa status harus bagaimana ... harus tetep menenangkan diri. Aku berjalan tenang menuju toko dalam stasiun membeli roti, kacang dan air mineral. Perbekalan uang aku keluarkan dari tas besar, untuk bayar supaya dapat kembalian uang yang lebih kecil. Cara tadi yang kupakai ke ojek cuma trik di lapangan aja biar win win. Si mbak penjual mamin bertanya kepadaku, tapi aku menjawab dengan isyarat tangan. Mungkin dia menganggap sedang berhadapan dengan orang Myanmar yang bisu. Akhirnya aku nggak tahan juga, Can you speak English ? ya English, tanyaku. Dia menggelengkan kepalanya, tanda nggak ngerti. Waduh Myanmar ini ... aku ini turis, masa nggak ada orang yang bisa melayani tamu di negaramu. Turis ?
Coba duduk tenang di ruang tunggu stasiun sambil makan roti. Kini giliran coba makan kacang shanghai, aduh ... ada masalah lagi, kacangnya keras seperti batu. Aku tetap coba menggigit dan menunggu mana yang hancur kacangnya atau gigiku.
Sambil memperhatikan kiri dan kanan dengan smooth, kelihatannya ada titik terang. Aku lihat ada seorang bapak yang pakai kalung dan ID card Sea Games sebagai divisi transportasi (antar jemput atlet). Aku bertanya kepadanya, apa ada GH sekitar sini ? Dia malah bingung karena aku nanyanya pake bahasa Inggeris. Karena bingung, ia memanggil orang Myanmar lainnya. Kedok terbuka sudah, yang semula semua orang di stasiun tidak tau aku ini orang Indonesia. Sekarang, semua jadi tau. Aku dikelilingi banyak orang, karena ada turis yang wajahnya sama dengan wajah mereka. Konyol ... Aku bilang terus terang, aku ini dari Indonesia mau lihat Sea Games, tapi di sini mengapa tidak ada hotel untuk turis seperti aku ? Suasana tambah ramai, sampai-sampai ada tentara yang sedang berjaga dengan senjata laras panjang ikut menghampiriku. Tambah gawat, untung saja ada satu orang yang bisa bahasa Inggeris dan menerangkan maksudku kepada orang-orang di situ dengan bahasa Myanmar.
Kemudian ada tukang ojek yang tau letak GH dan sepakat dengan ongkosnya untuk mengantarkanku. Orang-orang pun mulai membubarkan diri. Setiap aku bicara kepada Si ojek, dia hanya jawab "Yes .. Yes .." saja. Wah tambah parah nih. Perjalanan yang hampir sama dengan ojek yang pertama, terjadi lagi. GH yang dia tau sudah ketemu setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam. Aku senang luar biasa, dari luar memang benar tulisannya GH. Tapi apa yang terjadi, GH tidak untuk orang asing. Malah yang ini GH untuk internal perusahaan. Lemes sudah, dari jam satu sampai jam lima belum dapat hasil apa-apa. Ok ok begini, aku bayar dulu ojekmu 3000 Ks, kemudian kita mulai lagi dengan ongkos yang baru. Ia setuju membantuku mencari yang lain, kali ini arahnya menurut feelingku dan tujuannya aku yang menentukan bukan dia. Hasilnya tetep nihil.
Sedikit ada kepanikan, yang tadinya berpikiran jernih menjadi sedikit curiga. Apa aku sedang dikerjain ? Akhirnya aku ketemu rombongan ibu-ibu yang sedang berjalan di trotoar, kelihatannya 'terpelajar'. Si ojek bertanya kepada mereka dan aku mengutarakan dalam bahasa Inggeris yang saling dimengerti oleh kami semua. Aku bilang kalo aku sudah habis uang banyak untuk cari GH tapi nggak dapet-dapet di NPT. Untuk bayar ojek aja sudah berapa ? Kataku. Akhirnya Si ojek dinasehati oleh mereka, jangan membohongi turis. Kamu harus takut sama Budha. "Saya tidak bohong". Kata Si ojek. Ini saya baru dikasih uang segini, sambil menunjukkan uang yang telah ia terima sebelumnya. Memang Si ojek ini orang desa yang polos sekali, semula ingin menolongku sebagai turis cari GH. Tapi situasinya jadi berubah tidak sesuai harapannya, karena tidak ketemu GH. Akhirnya aku disarankan cari hotel di pinggiran kota NPT, yang jaraknya sekitar 25 km di luar NPT.
Tambahan ongkos sudah disepakati bersama. Meluncur lagi ke pinggiran ibukota negara yang namanya Pyinmana. Bokongku sudah kepanasan, dari tadi dibonceng motor terus menerus. Menuju Pyinmana terasa lama sekali seakan tidak ada ujungnya, tidak terlihat ada satu pun GH atau hotel di sepanjang jalan di Pyinmana. Aku menegur Si ojek dengan nada yang agak keras. Ini mau ke mana ? kok nggak sampe-sampe. "Ini mau ke terminal, Bapak kan mau ke Yangoon kalau tidak dapat GH". Jawabnya. Itulah jawaban Si ojek yang aku terjemahkan dalam hatiku. Percuma aku marah, karena aku bicara apapun dia tetep nggak ngerti. Aku menyadari hal tersebut dan tetep harus cooling down.
Tidak lama berselang, kami bener-bener sampai di Terminal Bus Pyinmana. Aku sedikit lega dan bersama Si ojek mulai bertanya dimana bus jurusan Yangon. Tapi Allah punya rencana lain, aku tiba-tiba kebelet pipis. Tanya dimana letak toilet, mereka hanya menunjuk jauh. Akhirnya toilet ketemu juga yang letaknya jauh di belakang sana, itupun ke sana pake motor.
Terminal Bus NPT
Diputuskan, aku ikut dengan teman yang baru kukenal ini dan menyudahi kebersamaanku dengan Si ojek sebelumnya. Aku bayar Si ojek dengan ongkos yang cukup, bilang terima kasih dalam bahasa Burma 'Je zu ba de mali' dan memeluknya tanda semua tidak ada masalah. Ia pun tersenyum, mungkin dibenaknya berkata : "Ingin membantu, tapi kondisinya yang tidak memungkinkan". GH tidak ada dan faktor bahasa yang nggak pernah nyambung.
Aku mulai mencari GH bersama Ismail, kenalan baruku di Pyinmana. Komunikasi dengan Arabic lebih nyambung dan saling mengerti. Dia bukan ojek, tapi entah kenapa tadi ada di terminal dengan motornya. GH pertama didapat, tapi aneh bener bukan untuk orang asing. Begitu juga dengan GH yang kedua. Ismail pun kelihatan agak kecewa tidak bisa membantuku. Aku bisikkan dia, tolong bilang ke petugas GH kalo kita ini sama-sama negara ASEAN. Petugas bilang peraturannya sudah begitu, GH ini cuma khusus untuk local people.
Kata Ismail, masih ada satu kesempatan lagi. Ayo kita cari. Di atas motor aku bicara tentang Rohingya. "Ssst ... jangan bilang itu di sini atau di tempat umum, ini sangat sensitif". Katanya mengingatkanku. Ok ok aku mengerti. Tiba di satu hotel, dengan harapan semoga bisa menerimaku. Resepsionis bilang kamar ada, harganya 100 US$. Saat ini sudah pukul 8.30 malam. Jadi kalo aku ambil kamar ini, berarti bayar 1,2 juta hanya untuk istirahat sampai pukul 12 siang esok hari. Oh ... aku tidak rela. Aku bilang pada resepsionis, ok aku pikir dulu ya dan berlalu sambil meminta kartu nama hotel. Edan betul, di pinggiran kota NPT aja 100 US$ rate-nya, apalagi di NPT.
Aku bilang sama Ismail, aku harus ke Yangoon malam ini dengan bus, tapi cari makan halal dulu ya. Ismail mengantarkanku ke kedai halal milik keluarganya. Kontan saja, baru sesaat ada di situ, sudah banyak orang berdatangan melihatku. Ada perempuan, ada laki-laki dan anak-anak, semua menonton aku. Bahkan ada seorang yang mengetes detail tentang ke-Islaman-ku. Ada ada saja. Walau dalam keadaan susah, aku tetap tersenyum menerima keadaan ini. Aku pesen makanan dan kopi panas di situ. Semua dihidangkan di meja pendek, tapi Ismail nggak mau makan. Aku makan dengan lahap dan tambah beberapa kali, maklum belum makan sejak pagi tadi. Semua aku bayar hanya 1000 Ks saja.
Aku abadikan momen ini dengan kamera HP-ku, lalu sera merta memberikan sepatu, sendal dan nescafe yang aku bawa dari tanah air untuk dibagikan pada mereka. Aku mengeluarkan sarung dari ranselku dan memakainya dengan cara Indonesia. Mereka semua tertawa melihat tingkahku, dan aku bilang yang ini jangan diminta ya, masih aku pake. Dengan berat hati aku harus berpisah dengan saudara Muslim di Pyinmana. Aku berdoa untuk mereka dan berpisah sambil berpelukan. Assalamu 'alaikum. Kataku, sambil berlalu dengan motor Ismail.
Tak lama, kami tiba di Terminal Bus Pyinmana dan Ismail menunjukkanku agen bus ke Yangoon. Dapat tiket (5000 Ks) yang berangkat pukul 21.30, berarti 15 menit lagi aku akan meninggalkan masalah yang tidak berujung ini. Aku selipkan selembar uang 5000 Ks (60 ribu rupiah) ke saku Ismail dan berterima kasih sambil berangkulan. Ismail sempat menyampaikan kepadaku, "Kami di sini ini miskin, tapi kami tidak minta apa-apa kecuali doa". Aku hanya tertunduk dan berusaha menghiburnya.
Sampai di Mingalar Highway Bus Terminal Yangoon pukul tiga dini hari, aku menunggu sampai ada bus kota pertama yang menuju Sule Pagoda. Alhamdulillah masih diberi kelancaran dan keselamatan oleh Allah SWT.
Penasaran dengan NPT, selang beberapa hari aku kesana lagi dengan Bus Elite yang ok punya (7000 Ks). Pagi nyampe malamnya balik lagi ke Yangoon, ga perlu nginep di NPT.
KEMBALI KE NGALAM
Ini malam terakhirku di Myanmar, aku harus pergunakan waktu sebaik-baiknya. Mampir ke kedai India yang menjual roti capati dan soup syurba, lalu pesan dibungkus untuk Jamaah Masjid Sunni Bengali. Selepas Shalat Isya, aku pamitan dengan Jamaah di Masjid Sunni sambil memberi bungkusan yang aku bawa. Aku bilang, besok pagi aku harus kembali ke tanah air. Kami saling berangkulan dan air mata pun tidak bisa kubendung yang keluar dengan sendirinya. Assalamu 'alaikum ....
Esoknya terbang ke tanah air via Kualalumpur menuju Surabaya dan Malang, dengan membawa sejuta kenangan dan pengalaman berharga dari Golden Land, Myanmar.
No comments:
Post a Comment