RESEPSI PERNIKAHAN ala DESA Vs KOTA
Esensi resepsi adalah merayakan suatu kebahagiaan dan berbagi buat
keluarga, teman atau kerabat. Sedangkan besar kecilnya resepsi atau pesta sangat
tergantung dari kesiapan biaya, keinginan dan seberapa besar orang yang diundang. Yang namanya resepsi, pada kenyataannya sangat berbeda antara yang ada di desa dan yang ada
di kota. Mari simak liputannya.
UNDANGAN PERNIKAHAN
“Mak .. mak ... Ini ada yang nganter undangan”. Anakku bilang sambil
sedikit berteriak. Undangan dari mana ? “Itu lho, kawinan anaknya Pak Bambang
yang baru kerja di pabrik garmen”.
Aku segera buka undangan tersebut yang sangat sederhana dan tidak begitu
tebal itu. Acaranya empat hari lagi dilaksanakan di Desa Durung Beduk, Kecamatan
Candi Kabupaten Sidoarjo di Jawa Timur.
Anaknya Pak Bambang adalah laki-laki, berarti acara di rumahnya dalam
bahasa Jawa-nya disebut ‘Ngunduh mantu’. Acara akad nikah dan resepsinya sudah
kemarin dilaksanakan di rumah pihak wanita, kemudian disusul acara ngunduh
mantu di rumah pihak laki-laki.
Pada Bulan Dzulhijjah atau Bulan Haji, atau kalau orang Jawa bilang Bulan
Besar, banyak undangan manten (pernikahan). Pada umumnya mereka mengambil hari
Sabtu atau Minggu. Tentu saja karena ‘musim manten’
undangan datang silih berganti. Setiap hari Sabtu atau Minggu bisa ada tiga
sampai empat undangan yang harus dihadiri. Biasanya, akad nikah di pagi hari , lalu siang atau malam acara resepsinya.
HARI ‘H’ pun TIBA
Lokasi acara ngunduh mantu ada di Desa Durung Beduk, Kecamatan Candi,
Kabupaten Sidoarjo. Tepatnya sekitar 5 km masuk arah barat jalan Raya
Tanggulangin – Sidoarjo. Ya lumayan jauh masuknya.
Namanya juga di desa, segala macam hajatan atau acara warga, penduduk
sekitar banyak yang tau. Apalagi acara pernikahan 'pesta' seperti ini gampang
mencarinya. Dengarkan saja musik bersuara keras yang keluar dari speaker besar
dan bertumpuk, di situ pasti ada yang sedang bikin acara.
Tentu saja acara macam begini perlu persiapan jauh-jauh hari sampai hari H tiba.
Anggota keluarga dan saudara semua dilibatkan termasuk para tetangga. Sudah
menjadi tradisi, semua dari mereka saling bantu membantu gotong royong untuk
mensukseskan acara ini. Kaum ibu dan remaja perempuannya masak-masak di belakang.
Sedangkan Bapak-bapak dan remaja laki-lakinya membantu menyiapkan meja kursi di
bawah tenda dan kesiapan tempat acara.
Tenda, kursi, pelaminan dan sound system untuk cara ini mereka sewa. Meja
kursi jumlahnya tergantung dari berapa orang yang diundang. Pada hari H, ada
kalanya acara tidak ditentukan jam nya (bebas), jadi waktunya bisa
panjang, untuk memberi kesempatan para tetamu dan sanak saudara leluasa hadir.
Satu per satu tamu mulai berdatangan memberi selamat pada orang tua
pengantin yang berdiri di depan tenda acara. Kemudian para tamu dipersilakan
duduk di kursi-kursi bawah tenda. Di situ telah tersedia air mineral kemasan
gelas dan kue tradisional sebagai camilannya. Musik bersuara keras terus
berjalan menyuguhkan lagu-lagu yang sedang hit dan lebih merakyat.
Rupanya, pasangan pengantin dijadwalkan meluncur dari Surabaya ke Desa Durung Beduk pada tengah hari. Kesempatan ini dipergunakan untuk menyiapkan segalanya agar semua berjalan lancar. Tapi sekali lagi acara ini tanpa EO-EO an ‘Event Organizer’ atau Jasa Katering seperti yang biasa dilakukan oleh ‘orang kota’. Semuanya dilakukan dengan cara gotong royong keluarga, kerabat dan para tetangga. Ini adalah bukti kerukunan di desa. Itulah yang menjadi asal usul nama 'RT dan RW' Rukun Tetangga / Rukun Warga. Bahkan rumah tetangga yang bersebelahan dengan yang punya acara, merelakan rumahnya terganggu ditutup sebagian atau dipakai untuk mendukung hajatan ini.
TRADISI YANG ADA SAMPAI KINI
Sangat berbeda dengan yang ada di kota, kalau di desa sudah menjadi
kebiasaan gotong royong bahu membahu kalau ada tetangga atau saudara yang punya
gawe (acara). Di Desa Durung Beduk, sebelum acara dilaksanakan banyak yang
berdatangan membawa ‘sesuatu’ (titipan) atau Buwuh untuk tuan rumah. Apa saja yang dibawa, dicatat dengan seksama dalam buku khusus
titipan. Semua warga mempunyai buku catatan ini.
Setiap ada acara seperti pernikahan, khitanan atau lainnya, tuan rumah
tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli bahan makanan. Cara ini seperti arisan dengan menitipkan bahan makanan. Suatu saat nanti, kalau ada
warga yang punya gawe, mereka akan mengembalikan sebesar apa yang pernah mereka bawa (titip). Begitulah seterusnya.
Menghadiri undangan, sudah biasa membawa amplop berisi uang yang besarnya
terserah dan tergantung kemampuan masing-masing. Tapi di daerah tertentu ada
yang amplopnya dibuka oleh petugas penerima tamu, kemudian dicatat nominalnya.
Di kemudian hari kalau warga tersebut punya acara, maka Ybs. akan memberi uang
sebesar yang dulu mereka pernah berikan.
Amplop dimasukan ke dalam kotak (semacam celengan) yang bentuknya
bervariasi. Ada yang menyerupai angsa besar, kotak berselubung kain satin,
gentong, atau bentuk lainnya. Sebelum memasukkan amplop, lebih dulu menulis
nama dan alamat pada buku tamu.
Iring-iringan pasangan pengantin tiba memasuki halaman rumah. Pembawa acara
perempuan menyambutnya dengan Shalawat Nabi. Pengantin duduk di pelaminan yang
telah ada sejak pagi tadi. Kemudian pembawa acara ‘MC’ pun memulai kata
sambutannya dan diteruskan dengan pembacaan Ayat Suci Al Qur’an.
MC mempersilakan pimpinan rombongan dari Surabaya untuk memberi
sambutannya. Isi sambutan yang intinya mengantarkan dan memperkenalkan mempelai
perempuan yang telah dinikahi kepada Keluarga lelaki dan warga Desa Durung
Beduk. Sekaligus menyampaikan nasehat berisi hal-hal penting dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Selanjutnya, MC mempersilakan yang mewakili tuan rumah untuk berbicara.
Sambutannya hampir sama dengan yang pertama, sama-sama menasehati kedua
mempelai ditambah dengan pernyataan menerima baik mempelai perempuan dan
rombongan. Sambutan diakhiri dengan permintaan maaf bila ada kekurangan di sana
sini atas penyambutan rombongan. Dan mempersilakan kepada rombongan dan tamu
yang hadir untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan.
Tidak lama sambutan selesai, piring-piring berisi nasi soto ayam pun diantarkan
secara estafet dari tangan ke tangan. Sambil diiringi musik yang bunyinya
‘jedar jeder’ para tamu juga mencicipi irisan buah
semangka yang segar di tengah teriknya panas matahari.
Makanan kecil masih asli dan dibuat sendiri oleh keluarga, seperti wingko,
jenang (dodol), ketan uli, rengginang, kacang goreng dan masih banyak lagi
lainnya. Sebagai penutup, tuan rumah menyediakan satu tas bungkusan ‘berkat’
untuk dibawa pulang.
Semua bergembira bisa bertemu dan bersilaturahmi dengan keluarga, tetangga
dan kerabat. Mereka masih bisa menjaga tradisi turun
menurun yang belum pudar ditelan modernisasi sampai kini. Lain di desa lain di kota,
tapi semua mempunyai tujuan yang sama, yaitu selamat dan lancar. Kalau mengadakan
acara resepsi pernikahan seperti ini, katanya Pak Bambang sedikitnya perlu biaya dua puluh
jutaan. Meski di desa, ada juga yang mengadakan acara seperti ini begitu mewah. Biasanya hajatan orang terkemuka atau Kepala Desa. Kalau di kota tentu acara beginian jauh lebih besar biayanya. Umumnya, mereka pakai acara pre-wedding, pakai jasa Event Organizer, jasa MC, undangan deluxe, seragam panitia, pakai thema acara, band live, pakai jasa
Katering dan souvenir yang indah.
No comments:
Post a Comment