Setelah eksplor Surakarta, Wonogiri dan Museum Kereta Api Ambarawa. Sore
hari, setelah ngopi-ngopi, aku dan dua orang sepupuku main ke Kali Garang di
kaki Gunung Ungaran. Dulu, mungkin lima
belas tahun yang lalu suasana sekitar Kali Garang sangat alami. Namun sekarang,
keadaannya sungguh berbeda. Hunian ada di
mana-mana. Suasana hawa segarnya sudah jauh berkurang dibanding sebelumnya. Sekarang
terasa panas, mandi pun berani kapan saja.
Sambungan kisah dari : http://seratusnegara.blogspot.co.id/search/label/Gajah%20Mungkur%20Wonogiri
JELAJAH KE CANDI GEDONG SONGO
Batu-batu yang menghiasi aliran Kali
Garang sudah jauh berkurang jumlahnya. Dulu belum ada jembatan permanen dan
jalanan masih tanah. Ya, originalitas dan keasriannya sudah tidak seperti dulu
lagi. Padahal Kali Garang ini sangat penting keberadaannya sebagai sumber
kehidupan warga sekitarnya. Kali ini alirannya sampai ke Kota Semarang.
Ada angkutan umum menuju Candi Gedong
Songo, dari Babatan Ungaran - Bandungan atau pernah aku lihat ada angkutan yang
lewat Bandungan – Sumowono - Ambarawa. Perlu pakai jasa ojek untuk
sampai ke pintu masuk Candi Gedong Songo. Kalau sudah tiba di kawasan candi,
suasananya sangat berbeda. Maksudnya luar biasa keindahannya. Karena letaknya
di dataran yang tinggi, di sekelilingnya tampak jelas hamparan pemandangan
pegunungan seperti Gunung Merapi, Sindoro, Sumbing dan Bukit Telemoyo.
Senangnya, kawasan Candi Gedong Songo ini sudah teratur baik pengelolaannya,
bersih dan terawat.
Inilah candi-candi Hindu warisan
pendahulu kita sejak abad ke sembilan yang masih bisa disaksikan hingga kini.
Lokasinya berada di kaki Gunung Ungaran pada sisi yang berbeda. Tepatnya hanya
beberapa kilometer dari pusat (pasar) Kecamatan Bandungan. Candi Gedong Songo
berada dalam satu kawasan yang luas antara yang satu dengan yang lain.
Menuju Candi Gedong Songo
jalannya menanjak terus dan berkelok-kelok. Kebetulan saja aku datang masih
terlalu pagi, jadi loketnya belum buka. Lokasi candi terpisah-pisah yang jumlahnya
Sembilan buah, ada yang berada di bukit sana dan ada di bukit lainnya.
Lumayan juga ke kawasan ini karena
cukup menguras tenaga. Kalau mau ke sini sebaiknya bawa air minum, tubuh dalam
kondisi fit dan bawa jaket. Kalau tidak kuat, bisa sewa kuda yang taripnya
sesuai syarat berlaku.
Sebelum pukul Sembilan pagi, kami
meninggalkan kawasan Candi Gedong Songo melewati jalan yang sama. Di Bandungan banyak hotel, penginapan dan karaoke yang keberadaannya ada
nilai plus minusnya bagi masyarakat.
Ada tempat wisata lainnya yang
cukup lagi naik daun, yaitu Umbul Sidomukti. Kami berdua harus cepat pulang ke
Ungaran, karena masing-masing punya urusan. Kembali ke Ungaran, jalannya yang
semula naik terus kini kebalikannya, terus menurun.
JELAJAH KE KOTA TUA SEMARANG
Tepat pukul sepuluh pagi, aku pamit pada keluarga budeku untuk meninggalkan Ungaran. Dari rumah, aku cukup naik angkot ke Terminal Ungaran dekat alun-alun (3K). Di situ sudah menunggu Bus Trans Semarang Koridor II, jurusan Ungaran – Pemuda - Terminal Terboyo Semarang.
Bus Trans Semarang mirip Bus TransJakarta,
tapi yang ini lebih kecil hanya seukuran metromini. Tidak ada jalur khusus
seperti busway tapi tetap ada halte khususnya. Ongkosnya 3,5K dan bisa transfer sekali
saja tanpa harus bayar lagi. Aku turun di halte depan SMU 5 dekat Lawang Sewu.
Teman sekerja dulu menjemputku
dan langsung menuju Masjid Agung Jawa Tengah. Kami tiba bertepatan dengan berkumandangnya
adzan Jumat. Mendengarkan khutbah dan Shalat Jumat di masjid terbesar, termegah
dan sangat artistik di Jawa Tengah ini membuat diri terasa kecil. Namun kesejukan jiwa
semakin bertambah besar. Selepas Shalat Jumat, kami semua melaksanakan Shalat Ghaib
buat para korban wafat peristiwa robohnya crane di Makkah.
Maklum, aku datang dari tempat yang
jauh dan baru sekali melihat dan shalat di masjid ini. Makanya aku tidak
lewatkan kesempatan ini untuk mendokumentasikannya.
Selanjutnya, temanku mentraktir
makan di Rumah Makan Padang dan singgah sebentar ke rumahnya. Karena aku tidak
mau mengganggu waktu kerjanya, aku pamit dan minta didrop di Lawang Sewu.
Terima kasih teman atas segala kebaikanmu.
Kini, aku masuk ke Lawang Sewu
(10K) yang artinya pintu seribu. Itu adalah gedung besar bekas kantor kereta
api masa kolonial. Sekarang dibuat museum untuk umum. Gedung dan sekitarannya
saja yang tampak bagus, namun kontennya perlu dilengkapi dan harus ditingkatkan
lagi.
Yang punya hobi photograpy tentu
tidak akan melewatkan momen ini untuk mengambil gambar terbaiknya. Dan bagi yang
sedikit takut masuk ke dalam gedung ini pastinya ada perasaan merinding
menghantuinya. Menurutku, di siang hari suasananya biasa saja, tapi tidak tahu
lagi kalau melihat bagian lain di malam hari
?
Yang perlu dilengkapi di sini
adalah tempat penitipan barang yang belum tersedia. Terjadi padaku, membawa barang
yang sedikit berat dan besar harus ditaruh begitu saja sambil bilang pada
sekuriti, "Pak, saya titip barang di sini ya ?."
Puas di Lawang Sewu, aku bergeser ke Gereja Blenduk di kawasan Semarang kota lama. Kebetulan di situ sedang sibuk mempersiapkan acara Festival Kota Tua selama tiga hari. Gerejanya masih dalam kondisi baik, terawat dan masih dipakai hingga kini.
Sedikit saja berjalan dari sini, aku sudah sampai di depan Stasiun Kereta Api Tawang. Hampir sama
suasananya, yaitu nuansa kota tua. Serasa berada di masa kolonial tempo dulu.
PERSIAPAN MENUJU KARIMUN JAWA
Sedikit antri aku menunggu Bus Trans Semarang menuju Terminal Bus Terboyo yang berada di bagian timur kota Semarang. Rupanya, macet di sore hari ketika jam pulang kantor dan anak sekolah sudah biasa terjadi.
Sedikit antri aku menunggu Bus Trans Semarang menuju Terminal Bus Terboyo yang berada di bagian timur kota Semarang. Rupanya, macet di sore hari ketika jam pulang kantor dan anak sekolah sudah biasa terjadi.
Ketika itu pkl 18.30, bus ke
jepara sudah tidak ada lagi di dalam terminal. Kata petugas terminal, "Bus
ke jepara setelah pukul lima sore adanya di depan pintu keluar terminal."
Akhirnya aku ditolong oleh petugas menuju pintu keluar terminal dengan sepeda
motornya.
Bus ke Jepara sebentar lagi siap
berangkat dan bus terakhir masih ada sampai pukul 19.30 saja (15K). Di malam
hari, bus di dalam terminal yang ada adalah bus jurusan Semarang – Solo (24
jam, 20K), Semarang – Surabaya Bungurasih yang biasa (24 jam, 55K) dan yang patas sampai
pukul 22.00 saja.
Bus ke Jepara melewati Demak,
tapi jalannya sedikit tersendat karena
ada pengecoran jalan hingga separuhnya. Otomatis, aku tiba di jepara agak
telat. Penumpang yang tersisa hanya aku, dan bus tidak sampai terminal.
Bus tiba di Kota Jepara sekitar pukul
Sembilan malam. Aku diturunkan dekat alun-alun kota. Tidak langsung menuju
pelabuhan, aku putar-putar dulu di sekitaran alun-alun dan mampir di Masjid Agung,
depan Museum Kartini dan Kantor Bupati.
Akhirnya, aku menemukan tempat
makan dan pesan es teh plus mie bihun kuah (12K). Lalu hampiri abang beca
menuju ke Pelabuhan Kartini yang jaraknya sekitar tiga kiloan.
Yang kutahu dari internet, ongkos
beca cuma 10 ribuan tapi ini minta 30K. Akh mudah saja bagiku untuk menurunkan
taripnya. Ajak ngobrol pake jurus sok akrab dan kekeluargaan. Akhirnya, mahal sedikit
tidak apa-apa untuk menghargai profesinya (20K). Mas Solihin namanya, bapak asal Demak yang pulang
seminggu sekali ke kampungnya. Banyak cerita yang ia sampaikan dengan penuh
canda. "Pak, ongkos 20 ribu ini akan saya tulis lho di internet, biar teman-teman
saya tahu itu harga baru di malam hari." "Iya tidak apa-apa Pak emang
segitu kok, kalau malam bahkan bisa lebih" katanya. Memang kalau dari
alun-alun ongkosnya lebih mahal dibanding dari terminal.
Dalam kegelapan malam aku tiba di
depan salah satu homestay di dalam kawasan Pelabuhan Kartini (100K plus air
mineral 600 ml dan krim anti nyamuk). Di kawasan ini bnyak hotel dan homestay sebagai
tempat transit berangkat/tiba naik ferry.
Tarip hotel / homestay
bervariasi, 100-250K. Tinggal pilih mana yang kita suka. Kuatir bangun
kesiangan, aku segera berangkat ke peraduan.
Pukul empat pagi aku sudah bangun
dan siap beli tiket ferry pada pukul 5.30. Ada sedikit antrian di muka loket.
Beri nama dan umur berikut uang 59K, tiket aku terima tanpa hambatan apa pun.
Kebetulan ada penjual sate ayam yang
mangkal di muka pelabuhan. Untuk mengganjal perut di pagi hari, aku pesan satu
porsi sate plus lontong pada Mas Mulyadi, pria asal Madura itu (10K).
Saatnya kembali ke homestay untuk bersiap mandi dan menata barang bawaan. Untuk persediaan di atas ferry,
kubeli air mineral kemasan besar (6K). Suara nyaring bel terakhir ferry sudah berbunyi, berarti 30 menit lagi
ferry siap berlabuh meninggalkan Pelabuhan Kartini.
Tidak setiap hari ferry berangkat
ke karimun. Itu semua tergantung cuaca, kalau sedang bersahabat ya berangkat,
kalau tidak ya ditunda keberangkatannya. Berikut jadwal tetapnya
Copyright© by RUSDI ZULKARNAIN
email : alsatopass@gmail.com
No comments:
Post a Comment