BERAMAL LEWAT TULISAN

Monday, 10 December 2018

SUMATRA UTARA NAN MENAWAN, APALAGI PULAU NIASNYA


LOMPAT BATU
 di DESA BAWO MATALUO

Kami diantar Lae Juntak ke loket penjualan tiket ferry menuju Kota Gunung Sitoli Pulau Nias. Ferry berangkat pukul 10 malam. Tapi kami diminta datang pukul 8. Suasana di dalam kapal ferry seperti 'ikan pindang'. Ya begitulah kelas ekonomi, semua apa adanya, penuh sesak dan banyak yang merokok.


KOTA GUNUNG SITOLI, NIAS

Setelah berlayar 10 jam di atas Samudra Hindia yang tenang, kami tiba di Pelabuhan Gunung Sitoli. Lantas keluar area pelabuhan ke arah kiri. Tidak jauh dari situ terdapat Kedai Muslim Hj. Ridha. Pemiliknya H. Agus Manggea yang baik hati. Dan kami berdua digratiskan makan di situ. Jazakallah khair.

Muslim itu bersaudara. Kami hanya duduk manis, semua urusan dibantu oleh H. Agus bersama rekan-rekannya. Kami dibawa oleh sopir becak ke Museum Nasional yang tidak terlalu jauh dari Kedai H. Agus. Museum Nias sangat lengkap menghimpun sejarah Nias. Berbagai rumah adat asal Nias , taman-taman indah, kebun binatang mini dan penginapan tersedia di situ. Masuknya hanya 5 ribu rupiah.


TELUK DALAM

Lantas kami ke Teluk Dalam di ujung selatan Pulau Nias dengan mobil jenis Avansa. Biaya sewanya 70 ribu per orang. Teluk Dalam adalah Ibukota Kabupaten Nias Selatan. Sebelumnya Nias hanya tergabung dalam satu kabupaten. Sekarang berkembang menjadi lima, termasuk satu kota yakni Gunung Sitoli.

Bandara Binaka setiap hari melayani sepuluh penerbangan, Garuda, Wings dan Susi Air. Alhasil, saat ini Nias lebih hidup dan terbuka siap berkembang menjadi daerah yang lebih baik. Dari Kota Gunung Sitoli ke Teluk Dalam perlu dua jam dengan mobil. Menempuh jalanan yang sepi harus tetap hati-hati sebab ada saja pejalan kaki atau pengendara lain muncul di tikungan secara mendadak.



Belum ke Nias kalau belum lihat tradisi lompat batu di Desa Bawa Matuluo. Dari Teluk Dalam ke Mataluo masih 18 km lagi.

Dari Gunung Sitoli kami tidak langsung ke Bawo Mataluo. Kami transit dulu semalam di Teluk Dalam yang dibantu oleh Uda Aziz pemilik rumah makan Minang Raya. Sedangkan menginapnya di Padang Saliro yang murah meriah.

Teluk Dalam sebagai Ibu Kota Kabupaten Nias Selatan,  banyak pendatang asal Minang yang menetap di sini. Hampir semuanya membuka usaha rumah makan. Pantas saja begitu, di kota kecil ini ada tiga masjid besar di Teluk Dalam sebagai tempat ibadah sekaligus tempat bertemu masyarakat Muslim di kota kecil ini.

Saudara Muslim di Pulau Nias jumlahnya tidak lebih dari 10 prosen. Mereka hidup rukun berdampingan berbaur dengan warga Nias lainnya. Kejadian gempa dan tsunami tahun 2004/2005 seluruh warga bersatu bahu membahu membangun kembali Pulau Nias agar cepat pulih kembali seperti semula. Potensi alam yang luar biasa indah seperti laut biru kehijauan, nyiur melambai dan situs peninggalan budaya nenek moyang perlu terus dipertahankan dan dikembangkan. Itu semua adalah aset yang bisa jadi potensi pemasukan daerah di sektor pariwisata.

Berada di Teluk Dalam yang sangat singkat, kami hanya bisa mondar mandir pake becak yang murah meriah. Pake becak misalnya untuk sarapan atau makan siang di Rumah Makan Minang Raya milik Uda Azis. Atau sesekali mencari masjid untuk shalat berjamaah.

Bagaimana kami harus bersikap ketika berada di tanah Nias. Ya.... cuma satu kuncinya, sopan dan bersikap baik. Di mana pun harus begitu. Jadi tidak ada yang perlu dikuatirkan, meski ada yang bilang begini atau begitu. Waspada sih boleh-boleh aja.

Aku tidak mengira wajah warga Nias mirip orang Sulawesi Utara (Manado). Putih-putihnya hampir sama. Kalau gaya bicaranya sih mirip kerasnya dengan warga Sumatra Utara lainnya, meski Nias punya bahasa sendiri, yakni Bahasa Nias.



DESA BAWO MATULUO

Selepas sarapan di Uda Azis, kami menunggu angkot yang lewat. Tapi semuanya penuh. Angkot selalu penuh sesak sampai di atap dan bergelantungan oleh anak-anak sekolah. Sehingga kami selalu nggak kebagian. Padahal dengan angkot tersebut kami mau ke Desa Bawo Mataluo untuk lihat situs lompat batu.

Angkot sudah tidak ada yang lewat lagi, karena tugas mengantarkan anak-anak sekolah selesai. Nanti akan ramai lagi waktu pulang sekolah. Menuju ke sana tidak ada jalan lain terpaksa sewa becak. Itu pun harus memilih becak yang ber cc besar agar bisa naik ke Bawo Mataluo yang jalannya menanjak dan berliku. Sebelumnya, Uda Azis menawarkan motornya. "Bawa aja motorku," Katanya. Sayang aku nggak biasa pakai yang matic, bisanya manual.

Beca ber cc besar kunego 100 ribu pergi pulang (berdua) ke Bawo Mataluo. Dia mau menunggu sampai kami selesai mengunjungi kompleks situs lompat batu itu.


TRADISI LOMPAT BATU

Sebelumnya aku pernah melihat tradisi lompat batu hanya dari TV, ketika belajar di SD atau dari uang kertas nominal 1.000 rupiah. Alhamdulillah, kali ini bisa lihat langsung dengan mata kepala sendiri. Budaya luhur nenek moyang sejak dahulu kala masih bisa bertahan dan dinikmati hingga kini. Generasi penerus harus bisa mempertahankan, menjaga, merawat dan memperkenalkan kepada siapa saja.

Susunan batu yang rapih dan sebuah batu sebagai pijakan lompatan berada di tengah-tengah kompleks rumah adat. Tradisi lompat batu ini bertujuan untuk menguji ketahanan fisik dan mental para lelaki remaja menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu ini.


Pengelolaan situs warisan budaya ini sudah lebih tertib. Setelah menaiki puluhan anak tangga, terdapat kantor mini yang dikelola Badan Usaha Milik Desa. Tiket masuknya 5 ribu rupiah. Pada dinding ditempel beberapa tarip lainnya, misalnya saja tarip atraksi lompat batu atau tarip sewa baju raja.

Pemandu mengantar kami mengelilingi kompleks dan beberapa kali dia membantu ambil foto di beberapa titik.

Kami say helo pada pemuda dan para orang tua yang sedang duduk-duduk di situ. Kompleks ini cukup ramai sebab semua rumah adat dihuni oleh warga. Beberapa warga menawari kami untuk sewa pedang. Sedangkan lainnya menawarkan cendramata hasil karya penduduk setempat.

Lantas pemandu membawa kami ke rumah induk dan menjelaskan sejarah Nias. Akhirnya penghuni rumah menawarkan baju dan topi raja untuk disewa. Ada juga penghuni rumah yang menawarkan sewa baju lebih murah, cuma 15 ribu. Tapi aku pilih dari persewaan milik pengelola. Harga sewanya 35 ribu untuk raja dan 35 ribu untuk permaisuri. Semoga ke depan masalah seperti ini bisa lebih tertib pengelolaannya.


Pada Bulan November 2018 akan diadakan Festival Nias. Acaranya pasti lebih lengkap meliputi seluruh potensi Nias termasuk tradisi lompat batu.

Kompleks rumah adat cukup luas menyerupai huruf T. Ada deretan rumah memanjang kiri dan kanan. Lantas ada deretan rumah yang memanjang lagi di sebelah kanan. Deretan rumah kiri dan kanan dipisahkan oleh jalan.

Rumah adat yang ada di situ berbeda satu dengan yang lain. Mungkin dibedakan karena struktur jabatan kerajaan. Untuk para pembantu kerajaan dan untuk keluarga. Posisi lompat batu tepatnya ada di tengah jalan kompleks. Penempatannya sangat tepat berada di tengah-tengah jalan, sehingga sangat strategis bisa disaksikan banyak orang disaat ada upacara adat.

Akhirnya kami pamit pada warga Bawo Mataluo khususnya yang ada di kompleks rumah adat. Sewaan becak sudah menunggu kami di bawah tangga pintu masuk. Saatnya becak mengantar kami sampai ke pertigaan saja (pertigaan Bawo Mataluo, Teluk Dalam dan Sorake). Sebab perjalanan akan kami lanjutkan ke Pantai Sorake yang terkenal di dunia untuk berselancar dengan ombak yang tinggi.


PANTAI SORAKE

Kami lama di pertigaan menunggu angkutan yang lewat. Hampir saja kami kembali pulang. Tapi alhamdulillah akhirnya ada juga angkutan yang lewat. Penumpangnya cuma kami dan seorang ibu dengan anak kecilnya. Dia sebenarnya ga cari penumpang. Sebab dia mau antar lonjoran besi beton yang ditaruh di atap mobil pick-up nya.

Dia mengantarkan sampai ke bibir pantai Sorake. Pulangnya kami minta dia untuk menjemput kami. Alhamdulillah dia mau. "Baik Bapak nanti saya jemput, tunggu ya, saya antar besi ini dulu " katanya.


Walaupun ini belum musimnya ombak tinggi. Tapi banyak juga peselancar sedang menunjukkan aksinya. Kalau lagi musim ombak, biasanya Juni ombaknya bisa mencapai 12 meter.

Ombaknya bagus dan untaiannya panjang bergulung-gulung. Untuk meningkatkan kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara, lokasi ini perlu ditata lagi lebih komplit, apik dan representatip.

Waktunya balik ke Gunung Sitoli, lantas malamnya menyebrang ke Sibolga dengan ferry. Check out hotel, makan siang di Uda Azis dan menunggu jemputan taksi sharing ke Gunung Sitoli.

Aku juga kontak Pak Agus meminta bantuan pesankan tiket ferry kelas VIP AC (125 ribu). Dan akhirnya kejar tayangku di Nias hampir rampung. Di Nias Pak Agus mengajakku Shalat Maghrib di surau dekat rumahnya. Lalu mengikuti kajian yang hanya dihadiri beberapa jamaah.

Klakson KMP Belanak berbunyi memberi peringatan kalau sebentar lagi akan berangkat meninggalkan Gunung Sitoli menuju Sibolga. Tidak mau ambil resiko, kami bergegas ke pelabuhan. Di pintu masuk harus bayar lagi pas sebesar 7 ribu per orang. He he ... banyak sekali restribusi yang harus dibebankan oleh rakyat.


Beruntung kami dibelikan tiket VIP AC oleh Pak Agus. Tempatnya bersih, nyaman, cukup air dan kebetulan banyak yang kosong. Jadi boleh pilih tidur di mana saja.

Ferry merapat pukul 7 pagi setelah berlayar sepuluh jam. Kami langsung menuju ke kedainya Bang Olan untuk sarapan lontong sayurnya yang sedap. Secangkir kopi buatannya pun sudah aku pesan untuk diseruput.

Tiba-tiba saja Lae Juntak muncul tanpa sengaja. Sebetulnya aku mau menghubunginya tapi pulsa habis. Allah telah memberi kemudahan. Tas punggung dan laundri yang aku titipkan pada Lae Juntak segera diambil di rumah. Dan dia sekalian aku ajak sarapan.

Untuk menghemat waktu, aku ambil 'travel gelap' di dekat kantor PLN menuju Medan. Perjalanan 10 jam ke Medan pun telah selesai kami lalui setelah membayar ongkosnya sebesar 120 ribu.


HORAS MEDAN

Memasuki Kota Medan sedikit terhambat karena dihadang kemacetan karena banyak truk besar yang melintas di jalur ini. Dari Amplas (Terminal Bus Medan), aku ambil angkot nomor 64 menuju jalan dekat Istana Maimun. Kami menginap di Hotel Garuda Citra di Jalan Sisingamangaraja yang tidak begitu jauh dari Istana Maimun. Di sepanjang jalan ini banyak hotel dengan berbagai tingkatan harga.



Menginap di sekitar situ cukup strategis, dekat ke mana-mana. Ke Masjid Raya Medan tinggal jalan kaki. Begitu juga ke Istana Maimun. Penjual makanan juga banyak di sekitar situ. Di Medan ini hanya ada dua macam makanan, pertama enak dan yang lainnya enak sekali.


Aku kontak sahabat lamaku yang sudah 28 tahun berpisah. Dia mengajak keliling Kota Medan sambil bercerita nostalgia tentang masa lalu kami. Dan kami berpisah setelah ditraktir makan Durian Ucok yang terkenal di Medsos. Belum sah ke Medan kalau belum ke Durian Ucok. Ha ha ha ....

Sehari sebelum check out hotel, aku survey bus yang ke Kualanamu. Kalau pakai Damri dari Kota Medan bisa naik dari Carrefour (Plaza Medan Fair Rp. 20 ribu) dan dari Terminal Amplas Rp.15 ribu). Kalau dari hotel kami lebih dekat daripada harus ke Carrefour, cukup cegat di depan Makam Pahlawan juga bisa. Sebab Bus Damri lewat di jalan tersebut.


Bagi traveler yang kemaleman atau lama menunggu waktu keberangkatan, bisa istirahat di REST AREA Bandara Kualanamu. Tempatnya rekomendit untuk istirahat. Pokoknya gratis.

Singgah di Medan mengakhiri perjalanan kami selama 11 hari di Sumatra Utara. Selanjutnya dari Medan kami terbang bersama pasanganku ke Penang. Istri tercinta balik ke Surabaya, sedangkan aku masih setia melakoni perjalananku yang masih kurang sebulan lagi ke Phuket dan menjelajahi Thailand dengan style yang berbeda.




Copyright©  by RUSDI ZULKARNAIN
email :  alsatopass@gmail.com


No comments: