Sebelum pukul 7 pagi aku didrop sobatku persis di depan SDN 02 Labuan Bajo dekat pertigaan Jalan Raya ke Ruteng dengan Jalan Pantai Pede.
Sobatku janjian akan mengembalikan sepeda motor sewaannya di Bandara Komodo sekalian menunggu terbang ke Bali. Jalan di depan SDN 02 adalah lokasi yang strategis untuk menunggu Travel Gunung Mas tujuan Ruteng. Jalan tersebut sebagai salah satu jalan poros keluar masuk Labuan Bajo/Ruteng.
Aku telepon Travel Gunung Mas 5 menit sebelum jadwal keberangkatan dan minta dijemput di tempat tadi. Alhamdulillah masih ada seat. Tidak perlu menunggu lama travel yang tunggu tiba menghampiriku.
LABUAN BAJO ke WAEREBO
Travel berjalan selama 3 jam melewati jalan berliku² tajam naik turun yang menjadi khas ruas jalan Trans Nusra. Aku pun minta diturunkan di pertigaan Pela (110K) untuk menunggu 'Oto Kayu' menuju Desa Denge.
Oto kayu atau biasa juga disebut Oto Colt adalah angkutan umum berjenis truk yang diberi atap dan tempat duduk panjang dari kayu. Oto kayu yang kutumpangi ini jurusannya ke Desa Denge di kaki gunung menuju Waerebo Village. Oto kayu akan melewati Desa Todo, Desa Dintor di pesisir selatan lalu terakhir di Denge. Ongkosnya 40K dari pertigaan Pela.
Melewati jalanan yang sempit di lereng bukit dan pinggiran jurang yang terjal bikin nyali 'nyut-nyut' setiap penumpangnya. Truk full musik bak speaker dangdutan ini sangat berguncang karena sering melintasi jalanan rusak yang masih banyak di jalur ini. Dan truk akan berhenti atau bermanuver bila berpapasan dengan mobil lain di depannya agar bisa lewat.
Penumpang tua, muda, perempuan, lelaki atau anak² sudah sangat sigap naik turun truk ini walaupun mereka pakai sarung. Kalau ibu² membawa bayi atau anak kecil, maka mereka saling membantu 'meng-over' agar bisa naik atau turun. Jika ada yang mau turun, semua penumpangnya berteriak, "berhenti...berhenti..." pakai bahasa Manggarai. Belum lagi penumpangnya bercampur dengan barang atau kalau pas hujan turun, suasananya semakin seru. Itulah salah satu denyut kehidupan masyarakat di desa.
Aku adalah penumpang satu²nya dan terakhir yang turun di Denge. Empat jam perjalanan penuh cerita sejak berangkat dari Pela tidak pernah terlupakan. Aku langsung menuju ke rumah Om Blasius yang biasanya dipakai sebagai homebase para treker sebelum ke Waerebo. Boleh untuk sekedar ambil paket sekali makan (35K) atau paket menginap plus makan minum dua kali (200K).
Aku cuma makan siang di situ (35K). Waktu di hapeku masih pukul 15.30, kuputuskan untuk langsung treking ke Waerebo Village. Silakan dipilih, untuk ke Pos-1 (Waelomba) bisa jalan kaki sejauh 2 km atau pakai ojek (50K). Duh ... mahal. Komersil banget ya.
TREKING ke WAEREBO VILLAGE
Untuk treking ke Waerebo bisa sewa guide merangkap porter atau jalan sendiri. Kalau pakai guide taripnya 200K pergi pulang. Dan untuk menginap di Waerebo semalam 325K plus makan minum. Kalau tidak menginap taripnya 200K. Mahal juga ya... pantes aja ga semua orang mampu ke sini.
Dari Pos-1 Waelomba ke Pos-2 jalannya lumayan menanjak. Sedangkan dari Pos-2 ke Pos-3 treknya bervariasi naik turun. Dan yang terakhir dari Pos-3 sampai ke Waerebo Village jalannya terus menurun. Alhamdulillah aku bisa menyelesaikan treking ini dalam waktu dua jam pas.
Sebelum memasuki kampung, di situ terdapat rumah terbuka yang ada kentongan kayu tergantung horizontal. Sebagai tanda kedatangan tamu, maka kentongan dipukul berkali². Suara kentongan akan terdengar hingga ke kampung. Selanjutnya aku masuk ke kawasan perkampungan yang terdiri dari 7 rumah. Seorang penghubung bernama Patrice mengantarkanku pada Tetua Adat. Di dalam rumah adat aku berhadapan dengannya untuk diberi petuah dan ucapan selamat datang. Mohon maaf, aku diminta menyiapkan uang antara 20-50 Ribu Rupiah.
Lantas aku pun bisa leluasa namun terbatas untuk tinggal sehari semalam di Kampung Waerebo. Aku bertemu dengan rombongan dari Malaysia, Labuan Bajo dan seorang nona dari Inggris. Kami saling berkenalan dan tinggal di sebuah rumah yang disediakan tuan rumah. Semua tamu akan tidur di atas kasur tipis dan bantal mini. Selimut tebal juga ada. Jemuran pakaian dan handuk bisa digantung di tali yang diikat mengelilingi bangunan bagian dalam.
Bangunan berbentuk kerucut ini dibangun oleh Empo Maro sebagai nenek moyang Waerebo dan diteruskan oleh para keturunannya. Sebelumnya, hanya ada beberapa rumah saja. Lantas yang lain direkonstruksi oleh team sehingga berjumlah 7 buah rumah seperti sekarang ini. Rumah² ini dibentuk memakai kombinasi bahan bambu, kayu, rotan, ijuk, batu dan rumbia lontar. Ada dapur bersama untuk memasak dan masakannya didistribusikan ke semua penghuni rumah lainnya.
Konstruksi dalam rumah bertambah kuat karena sering diasapi asap dapur. Meski begitu udaranya tidak pengap karena ada beberapa jendela yang berfungsi sebagai ventilasi.
Di sini tidak ada meja makan. Sebagai gantinya adalah tikar panjang dan bantal² tikar sebagai alas duduknya. Nasi di bakul dilengkapi sayur labu dan singkong, telur dadar, kerupuk, sambal serta olahan daging ayam sebagai menu makan malam kami. Untuk tidurnya, kami rebahan di lantai kayu tebal yang dialasi kasur tipis. Dalam sebuah rumah kerucut ini dapat menampung sekitar 100 orang.
Tujuh rumah adat berbentuk kerucut ini formasinya membentuk huruf U atau setengah lingkaran. Di tengahnya terbentuk halaman yang berumput luas. Di depan rumah Tetua Adat terdapat pelataran dari bebatuan yang lebih tinggi. Ketika aku datang kemarin, aku menyalami mereka yang sedang kumpul² duduk santai di situ. Mereka menyapa, ”Selamat sore..." dan mereka kaget aku menjawab dengan 'selamat sore' juga. Mereka menyangka aku ini orang Jepang.
Anak² bermain berlarian bebas di halaman yang luas. Sesekali para tamu menghibur mereka dengan permainan dan memberi hadiah atau makanan ringan. Untuk kehidupan sehari² mereka, kupikir sudah cukup dari hasil berkebun, menenun dan dari restribusi menginap dari para tamu.
Anda berani mandi di Waerebo ? Duhhh... dingin bener airnya baik sore atau pun pagi. Kamar mandi seperti di rumah² kebanyakan milik masyarakat disediakan di sini. Penerangan listrik yang berasal dari genset menyala hingga pukul 10 malam.
Setelah jeprat jepret sana sini, sekitar pukul delapan pagi kami pamitan meninggalkan Waerebo menuju Denge. Ternyata aku bisa turun 30 menit lebih cepat dibanding waktu naik. Kali ini kami turun berempat bersama Mas Rendi, Imran dan Mbak Dita. Aku tidak lagi naik oto truk tapi naik dua motor dan tidak jadi menginap di homestay-nya Om Blasius.
TURUN KE RUTENG LANJUT BAJAWA
Pulangnya lewat jalur lain, yaitu Denge - Dintor - Lembor. Jalur ini menyusuri pantai yang indah sampai pandangan Pulau Mules menghilang. Untuk melewati jalur ini harus cekatan, sebab sebagian jalannya masih banyak yang tidak mulus.
Tidak membuang² waktu, dari Lembor aku langsung menyetop 'travel freelance' yang sedang melintas di jalur tersebut menuju Ruteng (50K). Driver-nya Om Hans yang beristrikan orang Jawa Barat (HP : 082144766625). Dalam dua jam mobil sudah memasuki Ruteng. Lantas ambil travel yang lain di pangkalan dekat Sentosa menuju Bajawa (50K). Lebih baik sekalian stay di Bajawa, biar tibanya malam tapi bisa langsung istirahat yang cukup karena sejak pagi aku belum sempat istirahat.
Kuserahkan pada driver travel dimana aku harus stay di Bajawa. Tidak perlu repot², yang penting tempatnya bersih dan harganya ekonomis. Hotel Virgo di Jalan DI. Panjaitan pilihan dia yang otomatis aku iyakan. Ternyata benar... lumayan stay di sini, dekat masjid, ada penjual makanan, cafe dan lokasi ini tempat mangkalnya travel ke berbagai jurusan. Yang jelas sangat strategis.
Di Flores ada apa aja ? Banyak hal yang jarang kujumpai di Jawa khususnya di Malang. Misalnya saja kendaraan banyak datang dari berbagai daerah di tanah air, itu bisa dilihat dari plat nomornya yang berbeda². Semuanya ada di sini. Flores sendiri memiliki plat nomor 'EB'. Itu sih biasa... yang luar biasanya banyak kendaraan yang tidak berplat nomor (dilepas, belum dipasang atau sebab yang lain ?). Tentang maraknya kendaraan dari luar Flores, ada yang ngomong, "Cari uangnya di Flores, pakai jalanan Flores tapi bayar pajaknya ke daerah lain". Nah lo ... benar juga tuh.
Budaya tolong menolong ringan tangan antar sesama masih sangat kental. Lantas, setiap kabupaten memiliki bandara sendiri². Hebat euyy... Rumah Makan Padang ada di mana², kalau mau makan jadi ga repot. Soal makan, harganya tergolong jauh lebih mahal dibandingkan dengan Jawa.
Hampir tiap hari aku minum kopi. Malah sehari bisa dua kali. Flores memang pusatnya kopi. Kopi Manggarai dan Bajawa. Mereka menanam dan memetik sendiri buah kopi. Setelah itu digiling di penggilingan yang ada di pasar². Rasanya memang asli dan khas kopi Flores. Catatan yang terakhir yaitu makam keluarga ada di setiap halaman rumah. Itulah sekilas kehidupan keseharian masyarakat di Flores.
Hari itu di Bajawa diguyur hujan. Otomatis aku ga bisa ke mana². Sebelum hujan hanya bisa eksplor tipis², ke laundry dan cari makan. Pas hujan praktis hanya nongkrong di kamar aja.
JELAJAH BAJAWA
Esoknya, alhamdulillah udaranya sangat cerah. Aku sudah janjian dengan driver travel freelance bernama KK Kristian untuk eksplor view dari Bukit Wolobobo dan Kampung Adat Bena. Start pukul 7 pagi menuju Bukit Wolobobo lokasinya hanya beberapa kilometer saja dari Kota Bajawa. Tidak ada orang lagi selain kami berdua. Tiket masuknya hanya 5K.
Soal pemandangannya ga usah diragukan lagi. Dari situ bisa lihat Gunung Inerie secara utuh yang berbentuk kerucut. Lantas di sebelah Gunung Inerie adalah 'Bukit Avatar', Laut Selatan dan di kejauhan tampak juga Pulau Mules yang berada di seberang Desa Dintor Kabupaten Manggarai Tengah. View nya hampir 360° bisa kunikmati.
Selanjutnya meluncur ke Kampung Adat Bena yang berada sekitar 10 kilometeran dari Kota Bajawa. Tepatnya di Desa Tiwuriwu Kecamatan Aimere, di atas sebuah bukit di kaki Gunung Inerie.
Sebelum memasuki Bena, aku harus melewati hutan bambu cantik yang dibelah oleh jalanan kecil beraspal di Desa Bela. Kampung adat ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu pada masa megalitikum.
Hampir sama dengan Kampung Adat Waerebo. Namun Kampung Adat Bena lebih mudah dijangkau dibanding Waerebo. Bisa dijangkau dengan sepeda motor atau mobil sampai dipinggiran kampungnya. Masuk kemari 20K, menulis nama di buku tamu dan diberi selendang khas Bajawa. Lalu adik² dari SMK yang lagi praktek lapangan mengantarkanku keliling Kompleks Bena.
Hampir sama dengan Kampung Adat Waerebo. Namun Kampung Adat Bena lebih mudah dijangkau dibanding Waerebo. Bisa dijangkau dengan sepeda motor atau mobil sampai dipinggiran kampungnya. Masuk kemari 20K, menulis nama di buku tamu dan diberi selendang khas Bajawa. Lalu adik² dari SMK yang lagi praktek lapangan mengantarkanku keliling Kompleks Bena.
Kompleks Rumah Adat Bena formasinya memanjang dan kontur tanahnya semakin naik di bagiannya belakangnya. Kanan kirinya ada beberapa puluh rumah adat yang beratap rumbia (alang²). Di bagian tengahnya adalah halaman untuk upacara adat, kuburan dan beberapa naungan mini beratap rumbia. Mulai masuk dari gerbang di utara, aku harus menaiki anak tangga dari batu di setiap bagian halaman kompleks ini.
Banyak pelancong sengaja datang kemari dari berbagai daerah tanah air dan mancanegara. Di sekitar Kampung Bena pemandangannya sangat indah. Kampung ini juga sebagai peninggalan megalitikum yang sarat sejarah. Pada halaman yang luas sering dipakai untuk menjemur kemiri dan kopi hasil kebun masyarakatnya. Sedangkan di muka rumahnya setiap hari dipakai untuk membuat kerajinan kain tenun.
Ketika itu adalah hari Jum'at, sepulang dari Bena aku mampir ke Depot Sate Pak Rahman yang melegenda di Bajawa sejak dari dulu. Lokasinya di dalam terminal kota. Sate 5 tusuk, semangkuk gule kambing yang empuk, nasi dan minum cuma dihargai 25K. Menurutku, ini menu yang tergolong murah di seantero Flores.
Jum'atan di Masjid Agung Baitul Rahman yang posisinya bersebrangan dengan gereja, berakhir sekitar pukul 12.45 waktu Bajawa. Aku sudah check out sebelum pukul 12 siang dan backpack kutitipkan di resepsionis Hotel Virgo. Lantas jam satuan aku meluncur bersama driver KK Kristian (HP : 081239297538) menuju Ende.
Jalanan dari Bajawa ke Ende mirip² dengan Labuan Bajo ke Ruteng atau Ruteng Bajawa. Sehingga dapat kusimpulkan hampir semua jalanan Trans Nusra berliku² tajam dan naik turun. Karena jalanannya seperti itu, maka otomatis memerlukan waktu yang lebih lama dibanding jalan yang lurus (la iya lah). Kami tiba di Ende hampir pukul 5 petang. Yang kusasar duluan adalah Situs Pengasingan Eks Presiden Pertama Ir. Soekarno. Tapi sayang rumah sudah tutup karena aku tibanya kesorean. Alhasil aku hanya bisa mengabadikannya seadanya saja.
Perjalanan lanjut ke Moni kota kecil di bawah Gunung Kelimutu. Kami harus bermalam di sini untuk persiapan treking besok shubuh ke Danau Tiga Warna Kelimutu. Di Moni banyak homestay atau hotel yang harga per malamnya sekitaran 200K - 300K Rupiah.
Aku ingin melihat sunrise dari atas Gunung Kelimutu (Keli=Gunung; Mutu=Terbakar). Oleh karenanya aku harus berangkat dari Moni sekitar pukul 04.30 pagi. Melewati pos gerbang taman nasional ini harus bayar 10K dan untuk parkir mobil 5K. Sampai di parkiran ada penjual kopi dll. Di sini harga sebotol air kemasan tanggung harganya 10K. Yang penting kalau ke sini bawa air minum karena harus treking ke puncak Kelimutu agar tenggorokan tidak kekeringan.
Tahap pertama treking sekitar 1 km aku sudah bisa melihat danau yang airnya berwarna hitam, tapi keadaannya masih gelap. Selanjutnya terus naik treking lagi sejauh 1 km sampai tampak danau yang berwarna hijau dan merah. Warnanya masih remang² dan danau yang seharusnya berwarna merah masih diselimuti kabut.
Aku menuju tugu yang paling tinggi untuk menyaksikan hadirnya hari baru. Langit di ufuk timur sudah tampak kemerahan tapi sang surya tidak nampak jelas sebab ada lembayung yang menghalanginya. Aku sadar kalau mentari sudah keluar dari peraduannya sejak tadi. Benar saja, setelah lembayungnya pergi mentari muncul agak meninggi. Baru satu danau hijau saja yang tampak jelas. Sedangkan yang hitam masih samar² dan yang merah masih tetap diselubungi kabut putih yang cukup tebal.
Tidak ada yang bisa memastikan bagaimana cuaca di Kelimutu, cerah ato tidak. Ada istilah 'beruntung tadi cuacanya lagi bagus jadi bisa lihat mentari muncul sempurna tanpa halangan'.
Pengunjung yang datang ke Kelimutu pada saat itu tidak begitu banyak, sehingga di puncak terasa longgar.
Pelancong anak negeri dan mancanegara berbaur menjadi satu di puncak yang tidak begitu luas. Semuanya sibuk mengabadikan diri dengan berbagai macam gaya. Setelah mereka puas berada di atas barulah mereka beranjak turun meninggalkan segala keindahan Kelimutu namun kenangannya tetap terpatri di dalam hati.
BAJAWA to MAUMERE
Aku pun ikut turun dan melanjutkan perjalanan ke Maumere. Karena belum sarapan, aku singgah sejenak untuk sarapan dan ngopi² di Wolowaru. Menuju Maumere, aku akan melewati jalanan yang hampir sama dengan type jalanan sebelumnya yakni berliku² tajam dan naik turun.
Masuk Maumere pada siang hari yang cuacanya sangat berbeda dengan Ruteng atau Bajawa. Kota Maumere panas, kotanya adalah yang terbesar di Flores namun daerahnya banyak yang masih kosong dan sepi. Hanya di tempat² penting saja yang tetap ramai, semuanya terkonsentrasi di pusat kota.
Maumere adalah kota terakhir yang kusinggahi. Perjalananku sudah genap 15 hari. Istri dan anak cucuku sudah rindu padaku begitu juga dengan aku. Apa boleh buat tidak bisa menjelajahi kota besar terakhir di Flores belum, Larantuka.
Di Maumere aku stay di jalan kembar depan Kantor Bupati Sikka. Di situ ada hotel budget namanya El tari Indah. Sehari semalam di Maumere, aku cuma sempat ke Pasar Alok, Bandara Frans Seda untuk beli tiket, Pasar Bongkar untuk kulineran, Museum Tsunami dan ke Pasar Ikan di pinggiran Pelabuhan Maumere.
Saatnya kembali bertemu keluarga. Dengan ojek aku ke Bandara Frans Seda (20K). Wings Air dari Maumere membawaku ke Kupang (45 menit) lantas dari Kupang ke Surabaya dengan Lion Air (1 jam 50 menit).
Selesai sudah penjelajahanku kali ini, semoga kita bisa bertemu kembali dalam kisah yang berbeda yang bermanfaat buat kita semua.
No comments:
Post a Comment